Bab 8: Profesional

1 0 0
                                    

Pagi yang begitu cerah. Cerah dalam artianku adalah tidak hujan, dilengkapi dengan awan-awan yang berkumpul membentuk kelompok awan yang besar. Mungkin sebentar lagi hujan.

Aku baru saja menginjakkan kakiku di kantor dengan membawa satu berkas proposal yang kutujukan untuk Pak Bos. Sesampainya di ruang kantor, aku langsung menghampiri ruang Pak Bos yang tertutup rapat. Pak Bos sedang mengetik sesuatu di laptopnya saat aku meletakkan berkas proposal itu di hadapannya.

Aku membalik lembar pertama proposal itu. Lembar pertama berisi konsep vlog pertama yang telah dibuat oleh Bima tadi malam.

“Jadi pak, konsep vlog pertama masih seputar perkenalan tentang kehidupan dia sehari-hari. Mulai dari bangun tidur sampai malam. Nah sambil berkegiatan dia jawab pertanyaan. Kaya video 73 Question with Saoirse Ronan yang sama majalah Vogue. Tapi versi santainya aja pak. Jadi kayak one take video, seperti itu. Nah untuk konsep yang kedua,” aku membalik kertas ke halaman kedua.

“Ini konsepnya mencicipi makanan pedas dari seluruh Indonesia yang jarang di pop up. Kalau kaya rendang itu kan sudah biasa, ini lebih ke makanan yang jarang disebut, misalnya jengkol balado. Karena cuma mencicipi, ini nggak akan menganggu diet yang sedang dia jalani. Dan yang ketiga, mungkin kita lihat respon dan saran dari penonton. Kalau memang ada saran yang menarik, kita keep. Seperti itu pak,” aku mengakhiri presentasi singkatku. Pak Bos membaca proposal singkat itu. Sesekali keningnya berkerut.

“Yaa sudah bagus. Atur aja ya pertemuan dengan Arkana itu,” ujar Pak Bos akhirnya. Aku bersorak sorai dalam hati. Memang sudah kuprediksi, tapi aku tidak menyangka Pak Bos yang agak sedikit perfeksionis ini mengiyakan langsung proposal yang kami buat. Aku keluar dari ruang pak Bos dengan gembira.

Bima ternyata menungguku dibalik pintu. Lagi-lagi kami bersorak seperti anak kecil yang baru saja menang kuis di kelas.

Setelah bokongku menyentuh kursi kerjaku yang agak keras, aku langsung meraih ponselku dan mengetik beberapa kalimat. Aku meminta Andma untuk mengatur jadwal pertemuan kami. Karena sepertinya Arkana sudah mulai syuting film baru, jadi mungkin akan sulit mengatur jadwalnya.

Ternyata Andma langsung memintaku untuk bertemu dengannya siang ini juga. Aku lantas memberi tahu Pak Bos lewat pesan yang kukirim melalui aplikasi chat khusus di kantor. Pak Bos langsung mengiyakan permintaanku tanpa basa-basi. Hmm, kenapa semudah ini ya? Aku jadi curiga pada Pak Bos.

“Bim..” bisikku pada Bima. Bima yang sedang menulis artikel dengan fokus langsung menoleh.

“Iya?”

“Siang ini kita tanda tangan kontrak,” ujarku masih berbisik. Bima bersorak lagi. Tapi aku menyuruhnya untuk duduk dan tenang.

“Tapi ada yang aneh,” ujarku. Tatapan mataku menuju ruang Pak Bos yang transparan. Terlihat Pak Bos sedang mengetikkan sesuatu di komputernya.

“Apa mbak?” tanya Bima ikutan berbisik. Tiba-tiba hati nuraniku mengetuk logika. Memperingatkan bahwa lidah manusia itu setajam pisau. Kalau tidak dijaga, bisa melukai orang lain. Aku menghembuskan napasku pelan.

“Nothing, cuma pikiran iseng aja, hehe” ujarku, ah aku cengengesan seperti Bima.

Tiba-tiba, pintu ruangan berderit dan terbuka. Seseorang mengintip dengan ragu-ragu lalu perlahan melangkahkan kaki. Seorang perempuan usia 50 tahunan berpakaian kebaya model tutu masuk ke ruangan. Perempuan itu terlihat anggun dengan rambut disanggul rapi. Ia terlihat malu-malu.

“Ibuuuk!” teriak Bima. Ibuknya tertawa sumringah saat melihat Bima berdiri dan menghampirinya. Aku dan Amel saling bertukar pandang.

“Ibuk ngapain kesini?! ujar Bima setengah panik. Pelan-pelan ia mencoba membawa ibunya keluar ruangan namun ibunya bersikeras.

Mengejar ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang