BAB 1 Melepas

8 0 0
                                    

Aku terpaku di depan pintu kayu yang tertutup rapat. Pintu yang memancarkan warna cokelat alami ditambah sedikit cat kayu di beberapa bagian. Tak berapa lama terdengar suara ceklik, pintu itu terbuka. Sosok pria muda berkacamata muncul dari balik pintu. Sosok itu adalah Fazwan, suamiku. Masih bertengger di lehernya headphone warna biru langit. Pasti ia sedang bekerja.

“Maaf ganggu, kamu masih kerja ya?” kataku padanya.

“Enggak, udah selesai kok. Ada apa?” tanyanya. Aku tahu dia pasti heran. Tidak biasanya aku mengajaknya bicara. Terutama di jam malam seperti ini. Kami biasanya akan berbicara saat pagi sebelum pergi kerja. Itu pun hanya pembicaraan seputar adik-adikku atau seputar barang-barang rumah, bayar listrik, beli sayur dan lain-lain. Kami tidak pernah berbicara tentang ‘kami’ sendiri.

“Aku mau bicara sesuatu. Bisa kan?”
Fazwan menjawab pertanyaanku dengan anggukan. Aku memberinya isyarat untuk mengikutiku ke ruang makan.

“Nggak terasa udah setahun lebih ya,” kataku membuka pembicaraan. Fazwan tak menjawab. Ia tampak fokus menatap magnet-magnet lucu yang tertempel di pintu kulkas. Namun kutahu, ia sedang mendengarkan.

“Aku rasa ini sudah waktunya kamu terlepas dari keluargaku,” sambungku lagi.

“Aku berterima kasih banyak, sekaligus minta maaf. Karena membuat kamu terikat sama aku dan adik-adikku. Aku tidak mau basa-basi. Sepertinya lebih baik kita cerai.”

“Ce..Cerai?” tanya Fazwan setengah tergagap. Dari balik kacamata hitam berbingkai kotak itu, ia membelalak. Jelas terlihat dua bola matanya yang kecokelatan. Aku menghembuskan napas pelan. tatapanku beradu pada toples berisi kerupuk udang yang ada di meja makan. Aku mengerti, Fazwan mungkin tidak siap mendengar apa yang kukatakan barusan. Terlalu mendadak saja. Tapi tidak bagiku. Aku sudah memikirkannya lama.

“Iya, cerai,” jawabku menegaskan.

“Tapi kamu jangan bilang-bilang dulu sama keluarga aku. Kamu tau kan, kalau mereka tau aku nggak punya suami, bisa-bisa adik-adikku diambil. Aku nggak mau. Aku mau mereka sama aku terus. Selamanya.” Mataku fokus pada gagang kacamata yang bertengger di hidung panjangnya.  Ia  mengangguk pelan.

“Jadi rencana kamu apa?” tanyanya lagi.

“Kita urus perceraian dulu. Kamu tetap tinggal disini. Tapi nggak usah merasa terikat. Anggap aja kamu lagi ngekos. Kamu juga nggak perlu bantuin ngurusin adik-adik aku lagi. Biar mereka, aku yang ngurus. Terus perlahan-lahan nanti kamu bisa pindah. Gimana?” tanyaku. Fazwan menatapku sejenak. Ia kemudian mengangguk. Aku merasa lega. Fazwan selalu setuju.

“Tapi bukannya kalau kita cerai, kamu mengingkari janji sama mama kamu? Mama kamu kan ingin kamu nikah bukan sebentar doang, tapi selamanya?” kali ini ia bertanya seolah dia benar-benar peduli dengan ibuku. Aku tertawa kecil. “Memangnya kamu mau aku nikah sama kamu selamanya?” tanyaku pada Fazwan. Fazwan tidak langsung menjawab. Dia menatapku lamat-lamat.

“Tidak.” Jawab Fazwan akhirnya. Ia memalingkan wajahnya cepat. Membuatku tak bisa lagi memperhatikannya. Aku tersenyum tipis.
“Nah, makanya. Lagipula pasti mamaku ngertilah. Mana mungkin dia mau memaksa kamu dan aku hidup tanpa rasa cinta sama sekali. Pasti dia lebih pengen lihat kamu dan aku menemukan orang yang benar-benar kita cintai. Menemukan jalan yang bener-bener kita suka. Kamu dengan impianmu dan aku dengan impianku,” kataku. Fazwan kembali memperhatikan magnet kulkas.

“Faz, jujur aku berterima kasih sekali sama kamu. Karena kamu, hidupku jadi banyak terbantu. Jadi, walaupun kita bercerai nanti, jangan segan-segan ya kalau mau minta bantuan. Aku pasti akan bantuin kamu.”  Mataku kembali pada wajah Fazwan, memperhatikan alisnya yang tebal dan begitu rendah hingga hampir menyatu dengan kelopak matanya saat ia sedang berbicara serius. Detak jarum jam seolah menghidupkan suasana sunyi yang mendekap kami malam ini. Aku kembali tersenyum.

Mengejar ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang