BAB 2 : Slice of My Busy Life

3 0 0
                                    

Kring!! Jam wekerku berdering kencang, membuyarkan mimpiku yang baru setengah jalan. Dengan tangan menggapai-gapai, aku bangun dan meraih jam wekerku serta menekan tombol off.

Setiap hari aku melakukan ini, membuatku tahu dengan jelas letak tombol off itu. Aku menarik gorden kamarku, membuka jendela dan membiarkan udara dingin masuk. Selamat pagi, sapaku pada langit subuh yang masih gelap. Pada waktu inilah, hariku dimulai.

Aku melangkahkan kakiku yang masih terhuyung ke kamar mandi untuk mencuci muka sekaligus berwudhu. Lalu memenuhi panggilan sholat 2 rakaat sebelum fajar menyingsing. Setelah itu, kehidupan ala ibu rumah tanggaku pun dimulai. Aku ke dapur untuk mulai memasak, mencuci beras kemudian menanaknya di penanak nasi, memotong sayur-sayur dan menumisnya serta menggoreng ayam yang telah kubumbui kemarin.

Sambil menunggu masakanku matang, aku membuka portal berita sembari mencari ide artikel yang akan kutulis nanti.

Sejak lulus setahun yang lalu, aku telah bekerja di sebuah perusahaan media online terkemuka di Indonesia. Namanya Kepo.com. Semacam website online yang setiap hari selalu update berita, video hiburan, info tren, selebriti, fashion, tips kesehatan, pendidikan dan hampir semua bidang kehidupan baik nasional maupun internasional. Aku menangani bagian berita artis Indonesia.

Informasi tentang artis Indonesia cukup mudah ditemukan. Aku bisa mendapatkannya dari mana saja. Mulai dari postingan instagram, tiktok, televisi, youtube dan banyak lagi. Lalu aku membuat artikel dari sumber-sumber itu. Jadi pekerjaanku hanya di depan komputer saja. Bukan seperti wartawan yang sering mengejar artis-artis, bahkan kadang melanggar privasi mereka.

Pekerjaan ini tidak mengharuskan aku ke kantor setiap hari. Dalam seminggu aku hanya ke kantor 3 kali atau 4 kali. Jarang sekali sampai full 5 hari. Meski jarang ke kantor, bukan berarti aku tidak bekerja. Bahkan rasanya pekerjaan ini tidak memiliki waktu kerja pasti. Aku diwajibkan untuk selalu update 24 jam. Padahal kadang-kadang aku harus menjemput adik-adikku, membersihkan rumah, menyuci baju dll. Tapi apalah daya, sudah resiko. Walau tak banyak, gajinya lumayan untuk menghidupi kami. Cukuplah untuk menabung sekitar 300 ribu per bulan. Ditambah lagi dengan uang gaji pensiunan ayahku. Semuanya jadi cukup.

Masakanku telah matang. Aku menatanya sedemikian rupa agar terlihat menarik di dalam tempat makan ini. Aku mencetak nasi dengan mangkuk serta membuat hiasan disekelilingnya dengan sayur dan ayam. Setelah usaha luar biasa, ternyata hasilnya gagal total. Nasinya jadi biasa-biasa saja. Ya sudahlah, pikirku. Aku melirik jam dinding. Sudah hampir jam 6. Waktunya membuat sarapan untuk mereka. Aku memanggang beberapa roti di atas teflon panas yang telah kuolesi mentega. Kemudian menuang susu ke gelas-gelas panjang, menatanya di atas meja, menyiapkan kursi makan bayi dan selesai. Delapan sarapan sehat telah tersedia di atas meja. Waktunya membangunkan mereka. Pertama aku mengetuk kamar Fazwan yang lebih dekat dengan dapur. Lalu aku berlari kecil ke kamar adik-adikku. Semuanya masih terlelap dengan berbagai macam posisi tidur. Aku menggoyang-goyang tubuh kecil itu satu persatu. Mereka menggeliat sesaat kemudian tertidur lagi. Inilah tantangannya. Membangunkan mereka. Aku menyebut nama mereka satu persatu.

"Abha, Abhi, Arju, Aso, Aret, ayo bangun!" ujarku dengan suara tidak terlalu kuat. Aku takut membangunkan si kecil Runa. Runa butuh waktu tidur lebih banyak. Jadi aku membiarkannya tertidur sampai jam 7. Tiba-tiba Fazwan datang sambil mengucek matanya. Ia masih memakai piamanya. Rambutnya yang agak panjang menyeruai kesana kemari. Tanpa banyak basa-basi, ia membangunkan Abha, Abhi, Arju, Asoka dan Aretha dengan suara baritonnya. Ajaibnya, Abha langsung mengucek mata, Abhi, Asoka dan Aretha langsung mengulet dan perlahan bangun. Sementara Arju dengan mata masih tertutup mengulurkan kedua tangannya, minta digendong. Fazwan menurutinya, menggendongnya sambil berjalan menuju ruang makan. Ia melakukan itu setiap pagi. Sampai aku selalu berpikir, bagaimana caranya membangunkan anak-anak ini tanpa perlu bantuan Fazwan. Mereka terlalu manja.

Masih dalam keadaan mengantuk, mereka berjalan ke meja makan. Sementara aku menyusul dari belakang. Mungkin karena sudah hapal dengan tata letak rumah, mereka dapat berjalan tanpa menabrak apapun. Fazwan dan Arju telah menanti di meja makan. Lelaki itu sedang mengambilkan selai kacang kesukaan Arju serta dengan telaten mengoleskannya ke roti yang telah kupanggang tadi.

Anak-anak telah duduk di mejanya masing-masing. Dan tanpa diminta, mereka langsung mengambil selai dengan tertib. Tentu ini hasil latihan panjang selama beberapa bulan. Sebelum latihan, mereka saling berebut, lalu marah, menangis dan berujung dengan saling lempar. Aku masih ingat saat itu. Sungguh kacau. Akhirnya, dengan bantuan Fazwan juga, kami mencoba memberikan pengertian kepada mereka.

"Sebelum makan, kita ngapain dulu?" tanyaku.

Mereka dengan kompak menjawab, "Berdo'a!" Aku mengangguk bangga saat mendengar jawaban itu.

"Baik, hari ini do'anya dipimpin sama siapa?" tanyaku lagi. Aretha mengacungkan tangannya dengan cepat. Ia mulai membaca hapalan do'a sebelum makan yang telah kuajarkan. Aku menatapnya sambil tersenyum. Ternyata begini perasaan orang tua kala melihat anaknya tumbuh dengan sehat dan cerdas. Meski aku bukan orang tua mereka tapi tetap saja , rasanya bangga luar biasa.

Setelah mengamini do'a yang dibacakan Aretha, kami mulai melahap sarapan dengan tenang. Setelah itu aku memerintahkan adik-adikku untuk gosok gigi dan mandi. Mereka menurut dan bergantian mandi. Begitu mereka mandi aku memasukkan bekal ke dalam tas mereka serta menyiapkan baju sekolah mereka. Biasanya Fazwan membantuku melakukannya, namun hari ini aku memintanya untuk tidak membantuku. Agar aku terbiasa jika tidak ada dia nanti. Setelah itu, aku membangunkan Runa, memandikannya lalu menemaninya sarapan. Aku juga menyiapkan bekal makan siang untuk Runa.

Aku menitipkan Runa ke penitipan anak setiap aku dan Fazwan bekerja. Kalau aku tidak ke kantor, biasanya aku akan menjaganya sendiri. Meskipun akan sedikit kerepotan. Karena aku harus membuat artikel, sekaligus mengawasinya bermain. Kadang kalau tidak sempat, aku terpaksa menelpon Bi Mita, untuk menjaga Runa selama aku pergi.

Biasanya Fazwan akan mengantarkan adik-adikku ke sekolah. Tapi hari ini, seperti keputusan yang telah kubuat sebelumnya, aku akan melakukan semuanya sendiri. Setelah mandi dan dandan kilat, aku siap mengantar adik-adikku ke sekolah. Fazwan juga sudah rapi dengan kemeja warna hijau navy, rambut yang telah ditata, kacamata mengkilap seperti biasa dan tas ransel dipunggungnya. Akhirnya Fazwan tidak lagi menjadi zombie seperti tadi.

"Biar aku aja yang ngantar, kamu nanti telat ke kantor," ujar Fazwan. Tatapan matanya menyiratkan rasa iba untukku. Sungguh aku tidak suka ketika seseorang menatapku dan adik-adikku dengan tatapan itu. Aku menggeleng.

"Nggak papa, kamu pergi aja, nanti kamu yang telat," kataku padanya sambil tersenyum.

"Ayo anak-anak," panggilku pada adik-adikku yang sedang memasang sepatu. Runa berjalan pelan menghampiriku lalu memegang jemariku dengan erat. Kuperhatikan rambutnya yang sedikit kusut. Sebuah pita berwarna pink yang kusematkan di rambutnya tertarik kebelakang. Aku berjongkok untuk merapikannya.

"Duh, cantik sekali adik kakak ini," pujiku padanya. Ia menatapku dengan matanya yang bulat dan besar sambil memasang senyum lucu. Runa seperti biasa memberikan vitamin paginya itu kepadaku.

Sambil melambaikan tangan pada Fazwan, aku menuntun adik-adikku untuk masuk ke mobil. Kemudian aku mendudukkan Runa di baby car seat yang aku letakkan di kursi tengah, diantara tempat duduk Asoka dan Aretha. Abhi duduk disampingku, sedangkan Abha dan Arju duduk paling belakang. Sebelum mobil berjalan, mereka melambaikan tangan pada Fazwan yang masih terpaku di teras. Lelaki itu membalas lambaian tangan itu sambil tersenyum cerah. 

Mengejar ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang