Bab 12: Ragu

1 0 0
                                    

Arkana menghembuskan napasnya sambil menatap satu persatu mata yang meminta penjelasannya. Pertama, Andma yang meminta penjelasan kenapa dia melakukan ini. Kedua, aku yang ingin tahu tentang maksud dari balas budi dan setahun lalu. Ketiga, Bima yang sekedar ingin memenuhi dahaga ke-kepoannya, seperti biasa.

"Mbak, bisa nggak ini dijadikan artikel? Kalau bisa, saya mau rekam sekarang," kata Bima sambil mengeluarkan ponsel yang ada disakunya. Aku memelototinya dan mengancam akan mencincangnya jika ia melakukan itu. Bisa-bisanya senior sendiri dijadikan berita. Lagi pula, berita artis indonesia kan bukan bagiannya.

Arkana beranjak dari tempat itu, menuju sofa ruang tengah dan duduk di atasnya. Ia terlihat serius. Kami bertiga mengikutinya kemudian duduk mengelilinginya.

"Semua berawal dari pertemuan kita tahun lalu. Mungkin kamu tidak sadar," ujarnya sambil menatapku lekat-lekat.

"Tahun lalu, bulan keenam. Ketika aku mulai riset untuk film Haruskah Aku yang Pergi. Aku mengunjungi berbagai rumah sakit untuk melihat emosi orang-orang yang ditinggal pergi, mempelajari gerak geriknya serta bagaimana mata dan emosi yang dialami orang-orang itu. Tapi setelah mengunjungi banyak rumah sakit, tak satupun yang emosi yang pas dengan karakter film itu. Lalu saat aku duduk di kursi panjang di sebuah rumah sakit, aku melihat seorang gadis. Gadis itu dan seorang wanita paruh baya disampingnya, sedang mengiringi para perawat yang membawa mayat bertutupkan kain putih. Gadis itu berjalan dengan lunglai seolah tak memiliki nyawa sama sekali. Tatapan matanya kosong, namun air matanya tak berhenti mengalir. Sesekali ia menutup mata dan perlahan membukanya. Seakan berharap pemandangan di depannya hanyalah mimpi sesaat," Arkana menarik napas sesaat sebelum melanjutkan ceritanya.

"Tanpa sadar, aku mengikuti gadis itu dari belakang, mencatat setiap gerak geriknya dalam buku catatan kecil yang telah aku siapkan. Apa yang dialami gadis itu seakan terkoneksi dengan tokoh yang akan aku perankan. Tokoh itu merasa separuh jiwanya pergi, persis seperti yang dialami gadis itu. Mungkin lebih. Tak ada tangis menderu dan merengek. Hanya ada kepedihan mendalam yang tidak bisa diekspresikan dalam bentuk apapun." Arkana berhenti lagi. Ia menatap wajah kami yang penuh rasa penasaran. Terutama aku dan Bima. Andma sepertinya sudah tahu jadi dia tidak terlalu mendnegarkan.

"Aku seperti dirasuki oleh jiwa gadis itu. aku bisa merasakan seberapa pedih ditinggal oleh orang yang paling disayangi. Setiap kali beradegan, aku teringat dan meniru dengan tepat ekspresi yang disampaikan oleh gadis itu. Sutradara bahkan mengira kalau aku benar-benar ditinggal mati oleh pacarku. Padahal kan, kalau ditinggal mati pacar, ya tinggal cari lagi yang baru." ujarnya.

"Dan gadis itu.. kamu Runi!" celetuk Andma.

"Hah? Aku?" seruku kaget. Ingatan akan kematian ibuku kembali terlintas di pikiran. Arkana benar, aku bahkan tidak ingat sama sekali bagaimana kondisi rumah sakit. Saat itu yang berkecamuk dipikiranku hanyalah senyum ibuku, hal-hal buruk yang sudah kulakukan ke ibuku, hal-hal manis yang pernah ia lakukan, rasa bersalah semua tercampur aduk. Air mataku hampir menetes jika saja aku tidak menahannya. Aku mendongak agar air mata itu terserap lagi.

Bima memandangiku dengan tatapan iba, begitu pula Arkana. Aku benci tatapan itu. Bisa-bisanya Arkana mengira rasa iba yang dia punya sebagai rasa cinta. "Trus kenapa kamu bisa jatuh cinta sama orang yang lagi berduka?" serangku. Arkana menggeleng.

"Bukan, aku bukan jatuh cinta karena kamu lagi berduka. Aku cuma merasa aneh. Karena sejak hari itu, wajahmu yang mewek itu selalu keinget. Padahal kan mukanya penuh air mata dan ingus dimana-mana, rambut acak-acakan, pakai baju seadanya, sendal jepit. Aku cuma suka, tiba-tiba nggak tau alasannya apa," ujar Arkana sambil menatapku serius. Aku mengalihkan fokusku ke meja di belakang Arkana. Kali ini aku tidak berani menatapnya balik.

Mengejar ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang