Bab 13: Rasa

0 0 0
                                    

Kau begitu sempurna

Dimataku kau begitu indah

Kau membuat diriku

Akan selalu memujamu

Di setiap langkahku

Kukan slalu memikirkan dirimu

Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cintamu

Janganlah kau tinggalkan diriku

Takkan mampu.. klik!

Aku menekan dada boneka kelinci ini sekali lagi, setelah beberapa menit lagu yang dinyanyikan ulang oleh Bambang ini berputar. Suara petikan gitar yang manis berpadu dengan suara Bambang yang rendah masih terngiang di telingaku. Mungkin Bambang cuma sekedar memberikan saja. Aku ingat, kemarin aku meminta dia membacakan puisi miliknya. Dia bilang, dia sedang menunggu waktu yang tepat untuk memberikan puisi itu padaku. iya, dan lagu ini, mungkin ada plot twistnya di ujung lagu. Aku menekan kembali dada boneka yang bermotif love. Lagu kembali berputar.

Menghadapi semua

Hanya bersamamu kuakan bisa

Kau adalah darahku

Kau adalah jantungku

Kau adalah hidupku

Lengkapi diriku

Oh Runiku kau begitu

Oh Runiku kau begitu~

Sempurna~

Selamat ulang tahun Runi, aku sayaang sekali padamu.

Auch! Aku bergidik ngeri. Tidak terbiasa dengan sensasi ini. Sensasi agak aneh, geli, benar-benar tidak nyaman. Bambang kelihatannya sedang mengerjaiku. Nanti kalau kutanyakan pasti dia langsung meledekku habis-habisan karena aku salah sangka. Mungkin ini hanya ungkapan sayang darinya sebagai sahabat. Karena dia cuma tau lagu-lagu jaman dulu, jadilah dipilihnya lagu ini. Lagu paling baru yang mungkin dia tau.

Aku tidak menyadari kesalahan yang kulakukan dari tadi. Aku hanya berasumsi dan mempercayai apa yang ingin kupercayai. Iya. Demi menjaga kelangsungan persahabatan. Lagi pula tidak mungkinkan Bambang menyukaiku, bahkan memikirkan itu saja membuatku merasa aneh. Iya, iya. Tidak mungkin. Aku lega dengan kesimpulan yang kubuat sendiri. Tidak apa, tidak akan terjadi apa-apa.

Aku memutuskan untuk kembali memfokuskan diri pada pekerjaanku yang sudah bertumpuk. Laptop yang tergeletak diatas meja kerjaku seolah menyapaku, menunggu untuk kubuka. Aku memakai kacamata anti radiasi yang ada di samping laptop. Kubuka laptop Asus berwarna hitam itu dan menghidupkannya.

Tiba-tiba aku teringat dengan file video yang belum kupindahkan. Mataku segera mencari keberadaan tas yang tadi kutaruh. Tas kamera tersampir di gantungan baju di balik pintu kamarku. Aku segera mengeluarkan kamera dan mengambil Sdcardnya sebelum memasukkan kembali kamera itu ke dalam tas. Begitu aku berbalik, kulihat layar laptopku masih gelap. Padahal aku yakin telah memencet tombol power. Apa baterainya habis? Aku langsung bergegas mencari charger dan mencolokkannya ke laptop. Namun, laptop masih tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyala. Bahkan lampu merah yang biasa hidup kalau sedang mengisi daya pun tidak menyala. Jantungku berdegup kencang, lebih berdegup dibandingkan saat orang lain menatapku lekat-lekat. Aduh, bisa-bisanya aku memikirkan itu.

Aku menekan tombol power itu berkali-kali, memastikan charger tercolok ke listrik dan laptop dan memeriksa baterai di bagian belakang laptop. Masih juga tidak menyala. Kepalaku mendadak sakit. Aku terduduk lemas di ranjang setelah mencoba berbagai usaha. Rasanya aku ingin membanting laptop ini, mana tau bisa hidup. Aku terus memperhatikan layar yang gelap, berharap tiba-tiba ada mukjizat layar yang gelap itu menjadi terang. Tapi tentunya tidak ada. Mau kutunggu bertahun-tahun pun. Padahal semua data yang kukumpulkan untuk membuat artikel besok ada di laptop. Aku juga harus mengedit video. Kepalaku makin sakit saat memikirkannya.

Mengejar ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang