Bab 15

0 0 0
                                    

Nafasku berpacu dengan detak jantungku, saat kulihat mereka bersama di ruang tamu. Menyadari keberadaanku, mereka semua menoleh, menatapku agak terkejut, seolah baru saja membicarakan rahasia besar.

“Runi!” seru Fazwan.

Aku perlahan duduk di sampingnya, menghadap langsung Paman dan Bibiku. Bi Tika tersenyum padaku, mungkin manis, namun bagiku yang sedang menahan emosi, senyum itu penuh kemunafikan. Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan, tidak membiarkan emosi menguasai diriku.

“Kenapa bibi kesini?” tanyaku. Meski telah kutahan, emosiku masih memaksa untuk keluar sampai membuat wajahku mengeras. Aku mengalihkan pandanganku ke Runa.

“Runa, ayo kita tidur siang,” ujarku sambil menjulurkan tanganku. Runa yang sedang memainkan squisy berbentuk jagung, melepaskan squishynya berusaha meraih tanganku. Namun, Bi Tika menarik Runa lebih dalam ke dalam pangkuannya. Mataku membesar.

“Bi, ini waktunya Runa tidur siang,” ujarku tegas. Aku menatap Bi Tika dalam-dalam. Matanya menyiratkan penolakan.

“Runi, kamu masih ingatkan, kalau kamu cerai, artinya adik-adik kamu akan bibi rawat,” jelasnya sambil mempererat pegangannya pada Runa. Gadis kecil itu merasa tidak nyaman dengan kekangan Bi Tika.

“Iya Runi, tadi Wisnu bilang kalau dia ngeliat Fazwan di pengadilan agama. Jadi Paman langsung hubungi Fazwan,” Paman Didot buka suara. Aku mengalihkan pandanganku pada Fazwan yang membalas dengan senyum tipis. Ia menggaruk kepalanya, aku tahu kepalanya tidak gatal. Ia hanya mencari alasan untuk menghindari tatapanku. Aku melupakan Wisnu, sepupuku yang bekerja di pengadilan agama. Ini salahku, seharusnya aku menemani Fazwan kesana. Jadi Wisnu si mulut ember itu tidak curiga.

“Kalian tidak punya hak atas adik-adikku,” ujarku mulai emosional. Aku menatap Paman dan Bibiku bergantian.

“Tapi kamu juga nggak bisa merawat mereka kalau sendirian. Kamu pikir mudah ngerawat mereka semua? Karena selama ini ada Fazwan, makanya kami setuju kamu merawat adik-adik kamu. Keluarga besar juga setuju kalau bibi yang merawat mereka. Bibi nggak akan menelantarkan mereka, kamu tenang aja.” kata Bi Tika, wajahnya tidak lagi dipenuhi senyuman.

“Iya Runi. Kalau nggak percaya, coba aja kamu telpon bibi dan paman kamu yang lain.” timpal Paman Didot.

“Nggak akan! Nggak akan aku biarin kalian ngerebut keluargaku! Sini, kembaliin Runa!” ujarku setengah berteriak. Runa yang mendengar suaraku meninggi mulai menangis.

Aku berusaha menggendong Runa, namun Bi Tika menjauhkannya dariku. Ia bahkan berdiri, mundur ke balik kursi tamu. Aku menatapnya tak percaya.

“Nggak bisa! Runa sudah menjadi milik kami. Setelah ini, adik-adik kamu yang lain akan kami jemput. Dan mulai hari ini, mereka semua akan tinggal sama bibi. Bibi melakukan ini semua demi kamu. Supaya kamu bisa bebas melakukan apapun yang kamu mau, Runi..” jelas Bi Tika. Bi Tika memberi isyarat agar Paman Didot segera keluar dari rumahku.

Aku mulai histeris, emosiku meledak. “ENGGAAAAAKK!!! Kembaliin Runa, kembaliin! Kalian bukan siapa-siapa kami, kalian nggak berhak mengambil keluargaku!!!” teriakku sekuat tenaga. Aku mulai tersedu-sedu, tangisanku tak bisa dibendung. Aku terus berusaha mengambil alih Runa, namun selalu digagalkan Bi Tika. Cepat-cepat dia berjalan keluar rumah sambil menggendong Runa yang mulai menangis ketakutan. Paman Dodit juga membawa tas besar yang aku yakin isinya adalah baju-baju Runa dan adik-adikku yang lain.

“Enggak! Enggak!” hanya kata-kata itu yang mampu kuucapkan disela air mataku yang terus mengalir. Aku terduduk dilantai, seperti anak kecil yang mau ditinggal ibunya. Fazwan tidak tahan melihatku yang hancur dan terpuruk. Akhirnya ia bersuara.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mengejar ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang