Tujuh

21.2K 2K 33
                                    

Bagian Tujuh

---

Clara sudah selesai mandi. Walau masih banyak diam, gadis itu sudah lebih segar dari sebelumnya. Wira yang juga sudah mandi sebelum Clara mengambil alih handuk yang membungkus kepala Clara. Ia membawa gadis itu duduk dilantai saling berhadapan.

Tangannya dengan telaten mengusap rambut Clara guna mengeringkannya. Menghilangkan buliran-buliran air yang masih menempel.

"Ini Mas Wira lagi bujuk saya biar enggak jadi resign ya?"

Wira terkekeh. Laki-laki yang kini hanya memakai kaos dan celana kain itu tersenyum manis setelahnya.

"Ini semacam sogokan biar surat pengunduran diri kamu enggak ada dimeja saya hari senin,"

Clara mendengus kesal mendengarnya. Tapi ia tetap diam menikmati tangan kekar Wira mengusap kepalanya.

"Gak sekalian dipijitin?"

"Mau?"

Clara terkekeh. Atasan macam apa yang memijit kepala bawahannya. Bawahan dua tingkat lagi.

"Gue udah mulai gila kayaknya,"

Wira tersenyum geli. Clara terlihat sangat nelangsa. Maka ia berdiri sebentar untuk mengambil meja kecil milik Clara, menyusun makanan dan minuman yang tadi ia beli dan dibeli Clara.

"Kamu enggak berniat mabuk-mabukan  sampe pagi kan?"

Clara hanya mengangkat bahunya.

Wira lalu duduk dikarpet dengan bersandar pada kasur. Menarik tubuh Clara kehadapannya. Jadilah gadis itu membelakanginya sekarang. Mata keduanya tertancap pada televisi yang memutarkan sebuah film lama.

Tangan Wira kembali memijit kepala Clara dengan lembut membuat gadis itu mendongak dan memejamkan mata.

"Kayaknya gue beneran butuh pijit dan spa,"

Gumaman Clara yang santai membuat Wira mau tak mau kembali tersenyum geli. Tangannya lalu pindah memijit bahu gadis itu.

Wira paham sekarang. Semua piyama yang disebut Clara adalah mini dress dengan bahu terbuka dengan panjang yang hanya menutupi setengah pahanya. Seperti yang dipakai gadis itu saat ini.

Wira merasa Clara juga setengah sadar memakai gaun malamnya kali ini. Dress hitam bertali spageti dengan panjang hanya kini makin tertarik keatas, membuat hotpants yang dipalai gadis itu sampai terlihat.

"Mas Wira pernah jadi tukang pijit ya sebelumnya?"

Pertanyaan Clara menyadarkannya. Tangan cowok itu masih memberikan pijatan lembut dikedua bahu dan tengkuknya. Tangan kiri Wira tahu-tahu melingkari pinggangnya. Menarik gadis itu semakin mendekat.

"Nyender aja kalo ngantuk,"

Clara hanya berdehem. Tangannya bergerak ikut memeluk lengan kiri Wira yang melingkari tubuhnya.

Pijitan tangan kanan Wira sontak berhenti ketika Clara melemas dipelukannya.

"Don't stop, please..."

Bisikan itu lirih. Wira kembali melanjutkan pijitannya. Sesekali mengusap lengan terbuka milik Clara. Ketika usapan itu makin turun menuju pinggangnya, Clara mendongak. Menatap Wira yang ternyata jug tengah menatapnya.

Tangan cowok itu terangkat. Mengusap pipinya dengan lembut.

"I'm sorry,"

Clara mengerjap. "Ini juga bujukan biar aku enggak jadi resign?"

Wira menggeleng. Jarinya terus mengusap pelan sampai pada bibir bawah gadis itu. Tatapannya menggelap. Clara melipat jari-jari kakinya. Menahan sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Wajahnya memerah. Membuat Wira menatapnya takjub. "Kamu--belum pernah sebelumnya?"

Wajah Clara yang semakin memerah lalu melarikan pandangan, juga remasan tangan gadis itu pada lengannya menjadi jawaban atas pertanyaanya.

"Hei, just look at me,"

Clara kembali mendongak.

"Semoga ini enggak mengecewakan kamu,"

Clara tidak punya pembanding. Jadi ia tak tahu apakah ini baik atau buruk. Tapi untuk ukuran pertama kali. Ciuman Wira menghanyutkannya. Ia bahkan tak tahu sejak kapan tangannya melingkari leher laki-laki itu.

Wira melepaskan setelah ia rasa Clara sudah kehabisan napas. Wanita yang berada dalam pelukannya tampak ngos-ngosan. Gadis itu bahkan menyandarkan kepala pada dada bidangnya.

"Is it okay?"

Clara mengangguk pelan. Tak berani menatap atasannya itu. "Pusing" adunya pelan.

Wira terkekeh pelan. Lalu mengecup puncak kepalanya. Kembali memeluk gadis itu dengan usapan disekitar pinggang dan lengannya. Kaki Clara yang terbuka sudah menempel pada kaki kirinya, melilit bagai ular disana.

"Di Sanjaya atau bukan. Kayaknya kamu enggak bisa lari dari aku,"

---

"Mas Wira! Enggak pulang?"

Wira membuka matanya. Ia tak tahu sudah berapa jam ia tertidur. Tapi ketika matanya menemukan jam dinding yang menunjukkan pukul satu dinihari ia mengerang pelan.

"Besok hari apa?"

Clara menatapnya heran sebelum menjawab. "Sabtu,"

Wira kembali meraihnya dalam pelukan. "Aku nginep disini aja,"

Clara menggeleng pelan. "Enggak bisa. Nanti punggungnya pasti sakit. Mas Wira pulang aja. Nanti biar saya yang bukain gerbang,"

Wira enggan membuka mata. "Kamu cerewet banget sih, Ra,"

Clara merengut. Melepaskan diri dari pelukan Wira. "Nanti punggungnya pasti sakit,"

Wira dengan gemas lalu beranjak pindah ke kasur. Kakinya bahkan melewati panjang kasur itu membuat Clara meringis pelan.

"Kok malah pindah kekasur?"

"Biar punggungnya sakit,"

"Iya sih. Tapi kan kasurnya cuman satu, masa aku yang tidur di karpet?"

Tahu-tahu tangannya ditarik dan masuk kepelukan Wira. "Kalo gini pasti muat kan? Dan punggung kita gak akan sakit besok pagi,"

Clara langsung diem. "Tapi kan--"

Wira langsung membuka matanya. Menatap Clara yang masih saja protes. "Astaga Clara. Aku ngantuk banget. Bisa gak kamu protesnya besok aja?"

Gadis itu merengut. Membuat Wira tak tahan untuk tidak memagut bibir itu.

"Kalo kamu masih protes, aku gak akan biarin kamu tidur malem ini,"

Ancaman itu terasa nyata membuat Clara mau tak mau memutuskan untuk menurut. Ia akhirnya ikut melingkarkan tangan pada tubuh kekar milik Wira.

"Tapi emang nyaman tidur begini semaleman?"

Wira mengangguk. Kembali memejamkan mata. "Nyaman kalo kamu enggak banyak gerak kayak gini. Nanti yang lain ikut bangun,"

Begitulah malam itu berakhir. Clara hanya mampu diam dan akhirnya ikut terlelap dalam pelukan Wira.

----

Much love

--aku

Penghujung Malam [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang