Sepuluh

21K 2.1K 32
                                    

Bagian Sepuluh

---

Sudah hampir sebulan ia tak berbicara dengan Clara diluar konteks pekerjaan. Selain untuk menenangkan dadanya yang sering mendidih, juga untuk mengurangi gosip-gosip yang mulai tidak enak didengar. Entah Clara yang berselingkuh dengannya, atau Clara yang menggoda bos sendiri dan berbagai macam gosip miring lainnya.

Wira ingin meredam semua itu dulu. Sebelum memutuskan langkah apa yang akan ia ambil setelahnya.

Tapi ketika dilihat meja Clara yang sangat rapi seperti tidak pernah diduduki seharian ini membuatnya bertanya dalam hati.

Ini masih jumat. Kemana gadis itu jam segini?

Tadi pagi ia melihat meja Clara juga rapi, tapi otaknya langsung menyerap informasi mungkin Clara dengan ke bank untuk mengurus jatuh tempo--mengingat jadwal gadis itu tiap jumat pagi.

"Mas Wira,"

Wira menoleh pada Dani yang tampak baru saja dari luar.

"Darimana?"

Dani menghela napas. "Anter Clara ke Stasiun. Dia ambil cuti sampai minggu depan ya mas, sorry banget saya langsung ngasih tanpa info dulu."

Wira mengangguk. "Ada masalah? Tumben itu anak cuti tiba-tiba,"

Dani meringis pelan. "Bokapnya masuk ICU tadi siang, dia ambil kereta malem ini buat pulang ke Jogja,"

Wira menoleh sepenuhnya. Berkas yang sedang ia pegang langsung ditaruh begitu saja.

"Kereta jam berapa?"

"Setengah enam, Mas. Tapi dia udah di Stasiun sekarang. Takut ketinggalan katanya,"

Wira mengangguk. Memilih kembali ke ruangannya. "Kenapa gak pake pesawat aja?"

Dani kembali menoleh mendengar gumanan Wira. "Sorry, mas?"

Wira sudah menghilang masuk keruangannya. Ia punya waktu satu jam untuk menyelesaikan seluruh pekerjaannya.

---

"Mau sewa selimutnya?"

"Boleh, satu ya mbak,"

Clara menoleh kaget. Tak meyadari ada seseorang disampingnya. Dan lebih mengejutkan lagi, seseorang itu adalah Wira. Atasannya.

"Hai?"

Wira tersenyum manis. Menyelipkan rambut pada telinganya. "Kamu enggak dingin pake baju begini?"

Clara menunduk menatap tubuhnya. Ia masih menggunakan Blouse tipis dengan rok span selutut. Kakinya benar-benar polos tanpa tertutup apapun.

"Gak kepikiran,"

Wira hanya tersenyum. Tangannya mengusap jejak-jejak air mata dipipi gadis itu. Wira juga mengeluarkan sebuah hoodie dari dalam ranselnya dan memakaikannya pada gadis itu.

"Bahkan hoodie aku lebih panjang dari rok kamu,"

Clara hanya tersenyum tipis. Wira kembali merapikan rambut gadis itu menguncirnya dengan sebuat karet gelang yang Clara tak tahu darimana laki-laki itu dapat.

"Lapar?"

Clara menggeleng.

"Haus?"

Gadis itu menggeleng lagi.

Wira menarik kedua kaki gadis itu untuk ia tumpukan pada kakinya. Lalu meraih tubuh mungilnya bersandar sepenuhnya setelah ia menaikkan pembatas kursi diantara mereka.

Ia lantas melebarkan selimut yang tadi ia sewa untuk menutupi tubuh keduanya.

"Tidur kalo gitu. Semua pasti baik-baik aja, okay?"

Clara tak lagi mengigil dan merasa kesepian. Entah karena hoodie dan selimut atau justru karena pelukan hangat milik Wira.

---

"Dari mana?"

Wira mengedikkan bahunya. "Nyari mie instan. Laper,"

Clara hanya diam. Menatap cowok itu merapikan beberapa bekas makanan dan minuman. Untuk nanti dipagi hari diserahkan pada petugas yang berkeliling.

"Mas Wira marah ya?"

Wira duduk dengan tenang akhirnya. "Karna?"

Clara menggigit bibirnya. Membuat cowok itu mengusapnya pelan dan berusaha melepaskan gigitan tersebut.

"Jangan digigit. Nanti berdarah,"

Clara menunduk pelan. "Aku marah karna apa?"

"Kejadian di lobby?"cicitnya pelan. Wira tersenyum. Tangannya tak kuasa untuk mengusap wajah yang sangat sembab itu.

"Enggak. Kan yang harusnya marah kamu,"

Clara kembali menggigit bibirnya. Membuat Wira tak tahan dan memilih untuk mengecupnya. "Jangan digigit,"

Clara langsung menurut. Apalagi ciuman Wira kembali datang. Bibirnya sangat ahli dan lidahnya mengusap pelan. "Itu bagian aku," bisiknya nyaris tak terdengar.

"Sebentar,"

Wira segera berganti kursi dengan Clara sehingga laki-laki itu yang kini duduk didekat jendela. Ia membuka selimut. Menurunkan sandaran kursi. Lalu menarik Clara naik ke pangkuannya.

"Sini naik ke aku,"

Clara terlihat ragu. Menatap kearah gerbong yang gelap.

"Gapapa. Gak akan ada juga yang liat. Adapun yang liat mereka gak akan peduli,"

Clara akhirnya menurut. Naik kepangkuan laki-laki itu dan memeluknya erat. Tangan Wira juga langsung mengelus kakinya yang telanjang dibawah selimut yang menutupi keduanya.

"Sampai mana kita tadi?"

Clara mendongak. "Mas Wira marah sama aku,"

Wira tersenyum. Kembali mengecup Clara. "Aku cuma lagi ngurangi gosip yang enggak-enggak tentang kamu. Harusnya aku gak hilang kendali sore itu, tapi kamu gak ada dimana-mana. Aku udah kekosan kamu, tanya sama Keira tapi kamu enggak ada. Aku mutusin buat balik kekantor, ternyata kamu malah lagi ketawa-ketawa happy sama anak lantai sembilan,"

"Mas sengaja ngehindar?"

Wira mengangguk. Menatap gadis yang kini bergelung manja itu dengan memuja.

"Tapi aku gak tahan. Tadi aku ke meja kamu, tapi kamu enggak ada. Makanya aku susulin kesini,"

Clara memerah malu. Menaikkan tangannya diam-diam untuk melingkari leher laki-laki itu.

"Mas sadar gak kalo yang lagi mas peluk ini cungpret paling suka bikin masalah di divis mas?"

Wira tertawa pelan. "Kamu sadar gak yang lagi kamu peluk ini bos paling kampret tapi paling seksi seantero Sanjaya?"

Clara mendengus. "Kok jadi narsis?"

Wira tersenyum. "Kamu mau tau lagi gak?"

Clara menengadah. Menunggu Wira menyelesaikan kalimanatnya. Tapi wajah laki-laki itu justru semakin mendekat kearahnya.

"Bos paling nyebelin ini bakal cium cungpretnya sampe ga bisa napas lagi,"

Wira lalu menciumnya sangat dalam. Membuat Clara mengerang berkali-kali. Posisi mereka sangat intim ditempat umum dan sangat terbuka. Kemungkinan mereka akan ditegur sangat besar. Tapi beruntung mereka ada dikursi paling depan, dan kursi yang diseberang justru kosong sehingga tak akan ada tatapan-tatapan usil penuh tanya.

"Aku udah ngomong kalo aku kangen kamu belum?"

---

Much love

--aku

Penghujung Malam [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang