Semua Sudah Terjadi

12.4K 630 87
                                    

Hi... jgn lupa ramaikan dgn vote dan komentarnya, ya!

Meisya menatap nanar sprei putih hotel yang terdapat bercak merah. Terlihat bekas darahnya yang sudah mengering. Tidak ada yang perlu disesali, menangis pun tidak ada gunanya. Semua sudaj terjadi. Sesuatu yang telah hilang padanya tidak akan kembali lagi walau dia menangis meraung-raung sekali pun.

Pandangan Meisya beralih pada seseorang yang dari tadi hingga beberapa saat yang lalu, bergumul dengannya di atas kasur yang sedang kutiduri ini. Dia sedang berada di teras kamar menghisap sebatang rokok dengan ponsel yang menempel di telinganya. Tentu saja dia sedang menelepon pacarnya, yang tak lain adalah sahabat dari Meisya sendiri. Dari jauh, Meisya bisa melihat raut wajah senang pada wajah lelaki itu. Seperti tidak ada beban sama sekali, berbeda dengan Meisya yang merasa bersalah karena bermain dengan kekasih dari sahabatnya itu.

Tak lama, lelaki itu masuk kembali ke dalam kamar dan duduk di pinggir ranjang dekat Meisya tidur.

"Masih sakit?" tanyanya khawatir.

"Iya, tapi nggak apa-apa. Entar juga hilang sendiri sakitnya." Meisya memaksakan senyumnya. "Barusan habis telponan sama Pelangi?"

"Iya."

Meisya manggut-manggut.

"Gue ngerasa bersalah banget sama Pelangi, Kak." Meisya menundukkan kepalanya.

"Nggak usah ngerasa bersalah gitu." Mario meraih tangan Meisya dan menatap perempuan itu penuh arti. "Gue enggak pernah dapet kepuasan dari dia. Jadi wajar kalau gue nyari yang lain."

Meisya mendongak mendengar ucapan Mario.

Mario melanjutkan kembali ucapannya. "Ciuman bibir aja gue nggak pernah sama dia. Padahal gue pengen banget, Sya! Jujur aja, bisa dibilang hasrat seksual gue tinggi. Tapi, gue selama ini bisa nahan ketika bersama Pelangi."

Mario menyentuh bahu Meisya pelan. "Maaf untuk yang baru aja gue lakuin. Dan terima kasih udah jadiin gue yang pertama buat lo." Tapi, lo bukan yang pertama buat gue.

Sejak tingkat 2 di SMA, Mario sudah mengenal yang namanya seks. Dia pertama kali melepas keperjakaannya ketika masih berumur 17 tahun, sebelum mengenal Pelangi. Dia baru berpacaran dengan Pelangi, ketika kelas 3. Namun, dia tidak pernah melampiaskan hasratnya pada perempuan itu. Dia punya perempuan lain, yaitu perempuan yang bisa dia tiduri kapan pun dia mau.

***

Mario mengantarkan Meisya ke rumah sakit setelah dari hotel. Meisya ingin langsung membayar administrasi agar ayahnya bisa langsung dioperasi.

"Terima kasih buat hari ini, Kak. Do'ain semoga ayah gue cepet sembuh," tutur Meisya sebelum turun dari mobil Mario di lobi rumah sakit.

Mario berdehem. Seharusnya dia juga berterima kasih pada Meisya karena perempuan itu sudah memberikan kepuasan padanya. Dia sengaja memberikam transferan uang lebih pada Meisya. Itu terbilang cukup sedikit untuk ukuran membayar perempuan yang masih perawan.

Mario mendesah. Dilihatnya langkah Meisya yang perlahan menghilang masuk ke dalam rumah sakit. Apa dia terlalu kejam pada perempuan miskin yang merupakan sahabat Pelangi itu? Dia telah mengambil sesuatu yang berharga bagi perempuan itu, tanpa berpikir panjang.

Ngapin juga gue pikirin? Toh dia belum tentu bisa mendapatkan uang segitu dalam waktu dekat, walau dia masih virgin.

Sebenarnya nominal uang segitu tidak masalah bagi Mario. Namun, dia juga heran dengan dirinya sendiri. Kenapa dia sama sekali tidak memiliki hati nurani hari ini? Hanya karena selama 2 bulan ini hasratnya tak tersalurkan, dia menerima penawaran Meisya--padahal dia tahu perempuan itu tampak ragu awalnya. Mainan Mario biasanya ada di Jakarta, bukan di Bandung. Di Kota Kembang tempat dia mengenyam kuliah ini, namanya bersih. Dia tidak ingin orang-orang mengetahui aslinya dia seperti apa. Dan sekarang, yang telah dilakukannya dengan Meisya, pasti akan ditutupnya rapat-rapat. Makanya, dia hari ini sampai check in di sebuah hotel yang cukup jauh dari keramaian, namun bukan hotel yang murah.

Setelah kejadian tadi, Mario malah kepikiran untuk menjadikan Meisya budak seksnya. Meisya berbeda dari perempuan-perempuan yang pernah Mario sentuh. Entah kenapa, Mario ingin merasakan perempuan itu lagi dan lagi. Dia akan mencari cara agar keinginan bisa terwujud.

Cinta? Tidak mungkin. Mario mana mungkin tiba-tiba saja jatuh cinta pada Meisya. Perempuan itu tidak ada apa-apanya dibanding Pelanginya. Mario hanya menikmati permainannya dengan Meisya walau perempuan itu masih amatir. Mario akan mengajarinya nanti agar bisa mengimbanginya. Walau tanpa rasa melakukannya, Meisya bisa membuatnya merasa ingin menyentuh perempuan itu kembali.

Meisya menemui ibunya yang sedang duduk di depan pintu ruang rawat ayahnya.

"Bu," panggil Meisya menyentuh bahu ibunya yang tampak melamun. Tidak menyadari kehadiran Meisya di dekatnya.

Deborah--nama ibunya Meisya, sontak menoleh.

"Kamu kok ke sini? Ibu 'kan udah bilang nggak usah. Biar Ibu aja yang jagain ayah. Kamu di rumah aja, belajar yang rajin."

Meisya tersenyum. Ibunya memang ingin Meisya kuliah yang rajin dan berharap anaknya itu bisa sukses suatu saat nanti. Tidak sepertinya yang hidup susah. Sekolah hanya sampai kelas 2 SMP saja. Pekerjaan yang bisa dilakukannya saat ini hanya menjahit. Dan pesanannya tidak banyak juga, hanya sedikit yang mau mempercayakan jahitan mereka pada Ibu Meisya.

"Aku ke sini buat bawa kabar gembira, Bu," ujar Meisya antusias.

Deborah menatapnya dengan tanda tanya.

"Ayah udah bisa dioperasi, Bu! Aku udah mendapatkan uangnya."

"Dari mana kamu bisa mendapatkan uang sebanyak itu, Sya?" Deborah menatap Meisya penuh selidik. 30 juta bukan lah nominal yang sedikit.

"Ada orang baik yang mau bantu aku, Bu. Nanti kapan-kapan aku kenalin sama orangnya." Meisya sendiri tidak yakin sebenarnya kalau Mario adalah orang yang baik. Kalau Mario orang baik, seharusnya dia mau membantu Meisya dengan ikhlas.

***

"Lo dari mana, Sya?"

Meisya terkejut mendapati Pelangi yang duduk di teras rumahnya dengan pencahayaan yang minim. Beberapa hari di rumah sakit, cuma lampu teras saja yang dinyalakan jika dia pulang malam usai dari rumah sakit. Sedangkan ibunya, bermalam menjaga ayahnya di sana.

"Emm, lo ngapain malam-malam ke sini, Ngi?" tanya Meisya mengalihkan, tanpa menjawab pertanyaan Pelangi. Dia tidak ingin Pelangi tahu jika ayahnya tengah dirawat.

"Gue khawatir sama lo. Dari tadi gue hubungi nggak bisa-bisa. Mana motor lo ditinggal di kampus juga."

"Eh, iya, tadi gue naik ojek online," jawab Meisya yang tentu saja berbohong. Karena tadi dia pergi bersama Mario dari kampus menggunakan mobil lelaki itu.

Pelangi manggut-manggut.

"Terus barusan dari mana?"

"Gu-gue habis cari makan."

"Oh. Ibu dan ayah lo ke mana emang? Udah setengah jam gue di sini, kayaknya nggak ada siapa-siapa di dalam."

"Ibu sama ayah lagi ke rumah saudara gue di Lembang. Maaf, ya, udah bikin lo khawatir. Ponsel gue lagi eror dari tadi siang. Jadi gue matiin aja."

"Lo mau masuk dulu?"

"Boleh deh! Ini gue udah beli sate ayam buat makan malam bareng sama lo. Eh, tahunya lo udah makan di luar."

Meisya mengambil plastik yang berada di tangan Pelangi. "Ayo makan lagi. Gue barusan cuma makan sedikit." Padahal Meisya belum makan sama sekali dari rumah sakit, niatnya tadi ingin membuat nasi goreng saja di rumah. Namun, Pelangi malah membawakan makanan untuknya.

Pelangi begitu baik pada Meisya. Sedangkan Meisya? Dia malah tega berhubungan dengan kekasih sahabatnya itu. Meisya jadi merasa tidak pantas menjadi sahabat Pelangi.

Tbc...

Next ga nih???

Vote 50 aku double update, klo ga, besok aja, ya? Lapakku sering sepi soalnya 😭

Tanpa Rasa (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang