Meisya baru saja tiba di rumah. Tadi, dia terpaksa ikut bersama Mario karena lelaki itu memaksa. Dan Meisya tak mau berdebat di tempat umum seperti itu. Apalagi tadi sore cukup ramai pengunjung di sana. Sederatan toko roti tersebut, juga ada cafe dan juga toko yang menjual perlengkapan outdoor.
Mario hanya mengajak Meisya ke tempat makan di daerah Dago. Setelah itu, dia mengantarkan Meisya pulang. Di dalam hatinya, Mario ingin mulai menjalankan rencananya, namun Meisya tampaknya berusaha memghindarinya. Mario sudah berusaha membuat agar suasana tidak kaku, tapi Meisya hanya melempem saja. Apa Mario keluarkan saja kartu Meisya yang dipegang olehnya? Mario itu tipe orang tidak sabaran. Dia maunya apa yang diinginkannya, mesti dia dapatkan bagaimana pun caranya.
Mario menutup mata akan fakta tentang status sosial Meisya. Dia tidak peduli. Baginya, kalau dia sudah menginginkan sesuatu, itu tidak bisa lagi ditawar. Walau dia harus mengesampingkan rasa empatinya. Egonya tinggi. Mario sadar jika Meisya lah yang bisa membuatnya ingin merasakan lagi dan lagi. Kenikmatan yang diberikan perempuan itu, tak ada tandingan. Sonia yang sudah menemaninya sejak masa SMA, kalah telak dengan perempuan itu. Mario sendiri tidak tahu, kenapa Meisya begitu memikat? Bukan pesonanya yang memikat untuk dijadikan pasangan, melainkan hanya sebatas teman. Teman diatas ranjang maksudnya.
"Bu," panggil Meisya pada Deborah yang tengah duduk di depan TV. Mario langsung pamit pulang setelah mengantarkannya, kira-kira 15 menit yang lalu.
"Ada apa?" Deborah mengecilkan volume TV, lalu menoleh pada Meisya yang ikut duduk di lantai beralaskan tikar--di sebelahnya.
"Tadi Kak Mario ke sini, sebelum jemput aku pulang kerja?"
Deborah mengangguk.
"Dia kelihatan baik sepertinya, sopan. Sebelum pergi sama kamu aja, dia minta izin Ibu dulu."
Ibu nggak ngerti! Bahkan, aku sendiri juga nggak ngerti apa maksud lelaki itu.
"Ibu rasa, Mario itu suka sama kamu."
Kesimpulan macam apa itu? Mana mungkin Mario suka sama perempuan seperti Meisya.
Meisya tertawa sumbang. "Aku 'kan udah pernah bilang, Bu. Kak Mario itu punya pacar. Dia nggak bakalan mungkin lah suka sama aku. Lagian, aku nggak mau jadi orang ketiga dihubungan dia dan pacarnya."
"Ya, yang namanya jodoh nggak ada yang tahu, Nak. Bisa aja sekarang dia pacaran sama orang lain, tahunya jodoh dia adalah kamu."
"Nggak mungkin," bantah Meisya yakin. "Nggak bakalan jodoh sama dia. Ibu nggak tahu aja kalau dia sayang banget sama pacarnya."
"Tapi perlakuan dia ke kamu itu, terlihat beda, Sya! Ibu juga nggak ingin kamu mengambil milik orang lain. Tapi, kita nggak tahu gimana ke depannya. Bisa aja dia nggak jodoh sama pacarnya itu."
"Ibu kok, pengen banget kayaknya aku berjodoh sama dia?"
"Bukan gitu juga. Ibu cuma bilang, kalau yang namanya jodoh, sekeras apapun kita menolak, tetap akan di dekatkan. Dan sebaliknya."
Meisya bergidik ngeri. Amit-amit! Jangan sampai dia berjodoh dengan Mario. Lelaki itu hyper seks, yang Meisya tahu dari waktu di villa, ternyata dia juga sudah tidur dengan Sonya. Meisya bukan lah yang pertama bagi Mario. Meisya tidak tahu, apa ada orang lain lagi yang ditiduri Mario selain dirinya dan Sonya.
"Bu... "
"Ya?"
"Jangan terlalu percaya sama kebaikan seseorang. Kita nggak tahu gimana dia sebenarnya, tulus apa tidak kepada kita."
Meisya tak mau kedua orang tuanya terlena dengan kebaikan Mario. Karena dia sendiri pun masih bingung. Dia tak tahu apa maksud Mario bersikap seperti itu pada keluarganya. Tadi juga Mario berkata, ingin dekat lagi dengannya, karena dia ingin tahu lebih dalam seperti apa sahabat yang tengah dekat dengan kekasihnya itu. Mario beralibi tidak mau Pelangi berteman dengan sembarangan orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Rasa (TAMAT)
RomanceFollow akunku dulu yuk, sebelum membaca... :) Meisya terpaksa harus memberikan sesuatu yang berharga dalam dirinya demi mendapatkan uang untuk operasi ayahnya. Dan dia memberikannya kepada seorang lelaki, yang tak lain adalah kekasih dari sahabatny...