"Pulang sama siapa barusan? Motor kamu taruh di tempat kerja lagi?" tanya Deborah beruntun pada Meisya.
Arshaka langsung pulang tanpa ditawari mampir terlebih dahulu oleh Meisya. Mereka barusan mengobrol banyak hal. Lelaki yang akrab dipanggil Shaka itu, tadi mengajak Meisya makan dulu sebelum pulang. Sudah lama tidak bertemu, Shaka rindu pada perempuan itu. Dua hari yang lalu, dia hanya bisa melihat Meisya secara diam-diam tanpa berani menyapa. Sore ini, walau sekedar mengobrol saja, Shaka sudah senang sekali rasanya.
"Teman, Bu," jawab Meisya menyalami Deborah dan melangkah masuk ke dalam rumah.
"Teman yang mana? Yang barusan bukan Mario, 'kan?"
Meisya menghentikan langkahnya. Dia malas mendengar nama itu.
"Bukan. Barusan teman SMA aku. Baru ketemu lagi."
Deboran heran. Pasalnya selama ini, Meisya tak pernah diantar teman lelaki mana pun pulang ke rumah. Dari masa sekolah sampai sekarang. Baru belakangan ini saja, ada lelaki yang beberapa kali mengantar Meisya pulang, bahkan memberikan bantuan juga pada keluarganya. Orang itu tak lain adalah Mario. Dan hari ini, ada lelaki lain lagi yang mengantarkan Meisya pulang. Bermobil pula, sudah pasti dari keluarga berada juga. Bukannya matre, Deborah hanya senang jika semisal ada yang menyukai anaknya. Selama ini, dia pikir, Meisya tertutup. Tidak mau berhubungan dengan lawan jenis. Ternyata, dugaannya salah. Deborah hanya berharap yang terbaik untuk anaknya. Siapa pun yang menjadi pasangan nantinya, Deborah ingin Meisya dicintai dengan tulus apa adanya.
"Ya udah. Kamu bersih-bersih, terus makan," ujar Deborah.
"Aku udah makan, Bu." Meisya merasa sedih seketika. Dia makan enak di luar, ditraktir Arshaka. Sementara orang tuanya di rumah, memakan makanan sederhana pastinya.
"Ibu dan ayah udah makan?"
"Udah. Barusan ada tetangga yang kasih nasi box 2, habis ada acara syukuran anaknya."
"Syukurlah kalau gitu."
Meisya berjanji, nanti saat gajian, dia akan membeli makanan enak untuk orang tuanya. Dari hasil interview waktu itu, gaji yang akan didapat Meisya lumayan besar bagi Meisya. Setelah dihitung-hitung, bakalan ada uang lebih.
Dilain tempat, Mario uring-uringan. Dia sekarang berada di sebuah club elite di Jakarta. Tadi, dia langsung mengendarai mobil menuju Jakarta setelah menghampiri Meisya.
Mario meneguk gelas ketiga yang ada di meja di depannya. Di sebelahnya, ada Sonya yang menemani. Dia langsung datang ke club begitu mendapatkan pesan dari Mario.
"Ini gelas ketiga. Lo mau minum berapa banyak lagi?" Sonya ingin merebut gelas itu, namun Mario menatapnya tajam. Sonya tidak mau berdebat.
"Lo ada masalah apa? Nggak biasanya lo minum kayak gini. Itu muka lo juga kusut banget."
Mario tidak menjawab, pandangan kembali pada botol minuman dan gelas yang ada di atas meja. Setelah meneguk habis gelas ketiganya, dia mengambil botol minuman lagi untuk dituangkan ke dalam gelasnya.
"Berantem sama Pelangi?" tanya Sonya cemberut. Mario itu jarang ribut dengan Pelangi. Apa kali ini lelaki itu ada masalah dengan pacar utamanya itu? Sonya amat tidak menyukai Pelangi. Dia heran kenapa Mario bisa cinta sekali pada perempuan itu dan bertahan dengannya. Padahal Mario tidak pernah dapat apa-apa dari Pelangi. Jangankan melakukan skinship, ciuman saja tidak pernah.
Mario tertawa hambar mendengar Sonya menyebut nama Pelangi. Kenapa dia mendadak lupa dengan pacar kesayangannya itu? Beberapa hari yang lalu Pelangi mengajaknya pergi berlibur bersama dengan keluarga besarnya. Karena, Mario juga sudah dekat dengan keluarga dari kekasihnya itu. Namun, Mario menolak. Dia beralasan ingin mencari tempat magangnya di semester tujuh nanti. Mario berbohong. Baginya liburan bersama keluarga Pelangi itu membosankan. Waktu berduaan dengan perempuan itu sulit didapatkan. Mendingan besenang-senang dengan apa yang dia mau, dari pada pergi berlibur dengan keluarga Pelangi.
Sudah gelas keempat yang Mario minum, Sonya langsung menyingkirkan botol berisi minuman yang masih ada di atas meja. Lalu dia duduk di atas pangkuan Mario.
"Ayo lah! Lupain semua masalah lo hari ini. Mari kita habiskan malam ini bersama." Sonya membelai pipi Mario.
Mario yang sudah agak mabuk, pandangannya mulai samar. Dia serasa melihat Meisya berada di atas pangkuannya.
"Meisya?"
Belaian jemari Sonya pada pipi Mario terhenti. Perempuan itu heran. Biasanya, tak jarang Mario menyebut nama Pelangi jika tengah bercumbu dengannya. Namun, kali ini, bukan nama Pelangi yang dia sebut.
Meisya rasanya pernah tahu nama itu. Setelah berpikir, Sonya menggeram kesal. Dia ingat siapa nama yang disebut Mario itu. Perempuan biasa, tidak stylish sama sekali--yang dibawa Mario waktu ke villa di puncak. Terkesan kampungan malah.
Sonya sontak mendorong dada Mario. Dia bangkit dari pangkuan lelaki itu. "Kenapa kamu menyebut nama perempuan kampungan itu?" desisnya.
Mario mengerjap didorong kuat oleh Sonya hingga dia terjatuh dari sofa. Begitu kuatnya dorongan Sonya yang sedang kesal itu.
"Gue nyebut siapa emang barusan?" Mario berusaha mengumpulkan kesadarannya.
"Yang waktu itu lo bawa ke puncak. Kenapa? Lo ada main sama dia?" Sonya tak suka jika Mario bermain dengan orang lain. Dia pikir, selama ini, hanya dirinya lah yang menjadi satu-satunya bagi Mario di atas ranjang. Tidak Pelangi, tidak juga yang lainnya.
"Apa, sih? Gue nggak ngerti lo ngomong apa? Udah ah, gue mau pulang."
"Jawab gue dulu! Lo nggak ada hubungan apa-apa 'kan sama si Meisya-Meisya itu?"
Satu sudut bibir Mario terangkat membentuk senyuman sinis. "Ngaco lo! Ya kali gue mau sama cewek biasa kayak dia. Kalah jauh sama Pelangi!"
"Hmmm. Tapi, lo nggak pernah tidur bareng dia, 'kan?"
"Ya enggak lah. Body datar kayak papan triplek gitu, nggak menarik. Mending juga elo ke mana-mana."
Sonya tersenyum lega. Mario adalah asetnya. Walau dia berpacaran dengan Arya, namun kekasihnya itu agak perhitungan dengannya. Tidak seperti Mario yang royal dan mampu mengimbanginya di atas ranjang.
Sonya mengalungkan tangannya ke leher Mario.
"Aku udah pesen kamar di atas. Mau sekarang?" bisiknya menggoda--tepat di dekat telinga Mario.
Sayang sekali, Mario malam ini tidak menginginkan Sonya walau adiknya sudah lama berpuasa sejak waktu terakhir di villa. Yang Mario inginkan sekarang adalah Meisya. Mario yakin jika dia akan mendapatkan apa yang dia mau secepatnya. Malam ini, dia akan memulai permainannya.
"Sorry, Nya. Gue harus pulang. Bisa anterin gue ke apartemen aja? Gue ngantuk."
Sonya kecewa. Tapi tak apa, masih ada lain hari untuk menikmati kebersamaan mereka.
***
Mario sudah tidur sepanjang perjalanan pulang yang mana mobilnya disetir oleh Sonya. Mario baru dibangunkan Sonya ketika akan turun dari mobil saat sudah tiba di lokasi apartemennya.
Tiba di dalam apartemen, Mario langsung menyuruh Sonya pulang. Dia duduk di sofa dan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya.
Mario tersenyum miring melihat sebuah video yang sudah dia edit beberapa hari yang lalu. Tanpa ragu, dia mengirim video tersebut kepada seseorang yang telah membuatnya kesal sore hari ini. Mario tak sabar, apa reaksi perempuan itu. Ini akibatnya kalau nggak nurut sama gue!
Meisya yang belum tidur karena baru saja selesai video call dengan Pelangi, mengerutkan alisnya begitu mendapati notifikasi kiriman berupa video dari Mario.
Apa ini?
Penasaran, Meisya membuka video tersebut. Matanya membola melihat apa isi di dalam video itu, yang tak lain adalah dirinya. Bahkan, Meisya tak percaya jika dirinya terlihat agresif di sana dan mendesahkan nama lelaki yang mengirim video itu padanya. Tubuh Meisya bergetar hebat.
Meisya melempar asal ponselnya, jijik mendengar desahannya sendiri.
Apa maksud Mario merekam kegiatan panas mereka?
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Rasa (TAMAT)
RomansaFollow akunku dulu yuk, sebelum membaca... :) Meisya terpaksa harus memberikan sesuatu yang berharga dalam dirinya demi mendapatkan uang untuk operasi ayahnya. Dan dia memberikannya kepada seorang lelaki, yang tak lain adalah kekasih dari sahabatny...