Cukup.
Lototan mata itu semakin memerah.
"Muka kamu kenapa bonyok gini, ha!"
Remaja menginjak tujuh belas tahun itu tak menjawab. Sebenarnya tanpa jawaban ayahnya mengerti. Sejak masuk ke Internasional High School (IHS) Indonesia semuanya berubah. Bahkan dalam satu semester, dirinya sering pulang lengkap dengan muka membiru dan surat panggilan orangtua.
"Ayah udah bilang! Jangan nyoba yang berbau zat adiktif! Malah ketangkep di sekolah. Untung gak dibawa pihak berwajib kamu!"
Mata ayahnya masih merah. Kata-katanya sudah habis, lelaki paruh baya itu membanting apa pun di meja. "Besok gak ada uang apa pun dari Ayah." Ayahnya beringsut pergi.
Agam menarik napas panjang dan beranjak masuk kamar. Nava, adiknya, berdiri di sebelah ranjang membawa segelas air putih. Ia menekuk lutut di balik pintu, wajah tak terima tampak jelas pada lekukan dahinya.
***
Agam enggan berangkat sekolah pagi ini. Persoalan kemarin menyangkutnya berurusan dengan masalah baru, tetap melibatkan anggota genk Crueller lainnya, Rey, teman sekelasnya. Motornya lirih, berharap ada keajaiban yang membuat IHS Indonesia mendadak libur. Lima belas menit lagi bel berbunyi, ia benar-benar malas masuk kelas.
Ari, kawan karibnya mencoba melebur suasana, namun tak digubris. Telinganya menebal dengan celotehan teman lain yang tengah membicarakan dirinya. Rey datang dengan ekspresi datar dan langsung menarik kerah bajunya.
"Cukup, aku gak mau berantem. Aku janji bakal bayar kok, Rey." Agam langsung menyela sebelum pukulan mendarat lagi di salah satu bagian mukanya. Setelah itu teman-teman sekelas bergerumbul tanpa memisah.
Benar saja. Teman-teman sekelasnya sudah beralih pandang ke dirinya dan Rey. Agam mengisaratkan untuk bicara di luar. Mereka meninggalkan kelas tanpa menoleh pada siapa pun. Rey memilih area parkir sekolah, cukup sepi.
Hanya saling tatap, parkiran lengang sejenak sampai Rey angkat bicara.
"Bukan karena pin ini, Gam—menunjuk pin Crueller yang menggantung di dasinya—gue bangga dengan Crueller. Satu aja gue minta dari lo, tepatin kata-kata lo. Siapa sih yang gak tahu lo? Gue juga gak mau berantem, gue cuman minta tolong sama lo."
Agam tak ingin berkata apa pun, mood-nya sudah rusak sejak kemarin. Tak peduli apa tanggapan Rey, ia langsung balik badan kemudian berlalu. Pundaknya tertahan, saat berbalik, tangan Anas yang singgah di pundaknya.
Ya! Anas, setiap celah sekolah wajahnya selalu terpampang. Ketua genk Crueller di IHS Indonesia. Ketua tim debat bahasa Indonesianya juga. Dia hobi membuat hidup orang gelisah. Dia juga yang membuat dirinya bersalah untuk sebuah kesalahan yang tidak ia lakukan.
Ia hanya membalas tatapan si ketua tersebut, tempat kembali lengang, sesekali murid lewat. Sang ketua Crueller inilah yang membuatnya benci dengan sekolah, apalagi tatapan itu. Tanpa pikir dua kali, ia meninggalkan dua orang Crueller. Hanya membuang jam istiharat.
***
Petang ini Agam mengajak Nava membeli sesuatu ke pusat perbelanjaan. Kakak beradik ini mengelilingi sentral kue basah sampai kering. Nava mengambil sekotak brownies kering, namun seseorang langsung menyerobot brownies yang hanya tersisa satu itu. Nava mengembuskan napas kesal seraya melihat orang itu mengambil kue lain tanpa perasaan bersalah. Tiba-tiba remaja cowok menyodorkan brownies miliknya. Rey menatap wajah Nava, Nava menerima brownies itu sambil menunduk. Melihat adiknya itu, Agam mengerutkan kening.
"Nav, pulang sekarang." Nada datar Agam.
Mereka pergi meninggalkan Rey terpatung di sana. Hitungan langkah, Nava menoleh kembali ke belakang, cowok jangkung itu masih menatapnya di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last of True Love
Romance"Cewek yang penah jadi pacar Kakak, pasti beruntung banget." "Kok bisa?" "Iyalah, Kakak penuh kejutan. Pasti Kak Rey punya kenangan-kenangan yang indah sama mereka." Rey tersenyum menghadap Nava. "Yang indah gak untuk dikenang, tapi untuk diaba...