Bagian 6

11 10 0
                                    

Selesai doa bersama malam hari, dua cowok remaja mendekati sahabatnya di pojok raungan yang tampak merenung itu.

"If you told, maybe we can help you more." Gilang menyentuh pundaknya.

"Aku gak mau repotin kalian, kalian ada di sampingku tiap hari aja aku udah seneng. Apalagi ayah, aku gak bisa terus-terusan ngecewain dia, cukup, dulu aku bikin marah terus," jelasnya.

"Bukan itu yang Ayah pingin dari kamu, Gam." Ayahnya menyaut omongan di sana. Rey dan Gilang meninggalkan ayah dan anak berharap dinding di antara mereka hancur.

"Kamu bolos untuk kontrol?" Ayahnya menjejeri, Agam mengangguk.

"Tadi?"

"Enggak, cuman minta resep terus pulang, takut Ayah sampai sekolah duluan."

"Besok Ayah yang bolos kerja. Tadi Ayah sempet biacara sama Dr. Yusof di telepon, besok kita temui sama-sama. Kamu tadi juga gak ikut ke makam bunda, besok sebelum ke rumah sakit kita ke makam dulu." Ayahnya mencairkan suasana. Sekarang ia tak perlu sembunyi-sembunyi dan puyeng soal uang mestinon.

Tiba-tiba ayah memeluk sambil terisak. Ia juga tidak bisa menahan buliran matanya yang pecah di wajah dan membasahi baju. Mereka melepaskan tangis. Nava, Rey, dan Gilang yang melihat di pojok ruangan lain ikut berkaca-kaca, terharu.

"Ayah ... terima kasih," ucapnya dalam dekapan. Ayahnya tersedu dan semakin erat memeluk tubuh anaknya. Tiba-tiba rasa takut kehilangan hadir.

***

Untungnya ruang BK agak besar, jadi tidak sumpel-sumpelan dengan beberapa guru yang ikut menyaksikan penjelasan ayahnya. Pak Sam dan Pak Lio juga di sana, persis duduk di depan dirinya dan sang ayah.

"Kenapa kamu tidak bilang kalau pergi kontrol? Kami bisa memberimu izin atau salah satu dari kami bisa menemanimu, Gam." Pak Lio yang pertama kali menyela penjelasannya. Jangankan guru di sekolah, ayahnya saja tidak tahu kalau putranya terkena Miastenia Gravis.

Lega sekali rasanya karena mulai hari ini ia tidak akan jadi bahan kejar-kejaran guru lagi, semuanya sudah mengetahui penyakitnya. Ayahnya minta izin hari ini tidak mengikuti pelajaran di sekolah karena mau ke rumah sakit, tentu pihak sekolah mengizinkan.

Sebelum ke rumah sakit mereka mampir ke makam. Bunga di kantong plastik sudah merata memenuhi gundukan tanah bernisan 'Hana Zakariya' mereka berdoa bersama menghadap gundukan tanah itu.

"Bunda, jika Allah mengizinkan, bentar lagi Agam nyusul, ya." Perkataannya ngawur. Ayah hanya mengambil napas besar melihat si sulung putus asa. Sekali lagi ia takut kehilangan untuk kedua kalinya.

Ruangan Dr. Yusof

"Saya pikir orangtua Agam memang di luar kota, jadi dia sering datang ke sini sendiri." Akhirnya penasarannya terjawab juga.

"Agam tidak memberi tahu siapa pun. Teman dekatnya sekalipun tidak, apalagi saya yang setiap harinya pulang larut, Dok." Ayahnya ganti curhat ke dokter spesialis saraf.

***

Rey dan Gilang menceritakan kondisi Agam pada Ari. Sama seperti mereka, Ari tidak mengerti apa itu Miastenia Gravis. Ia mengeluarkan laptop, bersama-sama membaca halaman yang menjelaskan tentang penyakit sahabatnya. "Bener juga, sih. Agam 'kan kalo main basket sampai malem," terang Rey, ditambah anggukan si Jepun. Mereka menelusuri semua sumber di internet, rata-rata menjelaskan hal yang sama.

***

"Harus mengurangi aktivitas fisik baik di sekolah atau di rumah. Agar tidak cepat lelah. Semakin dia lelah, mestinon akan ditingkatkan dosisnya," terang dokter padanya.

The Last of True Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang