Bagian 8

9 9 0
                                    

Pukul dua siang Pak Lio datang. Kakak beradik itu belajar mengikuti arahan Pak Lio. Setiap bab selesai mereka ganti subject lain. Gilang pulang tanpa Rey lagi. Gilang menggeleng kepada Agam, tanda gagal meyakinkan Rey untuk pulang ke rumah ini. Mereka melanjutkan belajar, sudah tidak ada harapan lagi jika tidak langsung menemui Rey.

Pukul empat sore, Pak Lio memberi esai yang tidak terlalu sulit, jadi bisa mengerjakan dengan santai. Tiba-tiba Rey lewat di depan mereka. Tanpa menoleh siapa pun.

"Kak Rey aku minta maaf." Nava berdiri. Cowok jangkung itu berhenti, memastikan mau bicara apalagi, tapi lengang, membuang waktu saja. Ia tidak menoleh langsung pergi. Agam, Gilang, dan Pak Lio mematung melihat Nava. Gadis perawakan langsing itu melinangkan air mata, menghambur ke pelukan Agam.

"Aku gak bisa terus-terusan kek gini, aku minta maaf, aku minta maaf." Tangis Nava sambil berbicara tersendat-sendat.

"Nav, jangan nangis. Nanti Rey juga mau bicara kok sama kamu." Kakaknnya mencoba menenagkan.

"Kapan!?" sergahnya sesenggukan.

Ruang tengah lengang, tak ada yang berkata. Dari belakang terdengar hantaman ring basket, tembakkannya terdengar sedang emosi. "Ahhhhhh!!!!" Disusul teriakkan.

"Nav." Pak Lio memalingkan pundak Nava.

"Ayo lawan, kamu pasti bisa," hibur Pak Lio.

Nava menggeleng, tidak yakin dengan dirinya sendiri. Ia semakin meluruhkan semua air matanya.

"Kamu denger 'kan siapa yang main basket. Sekarang kejar, peluk dari belakang, kamu nangis, lepasin air mata kamu dan bilang dengan hati, kalau kamu bener-bener minta maaf," suruh Pak Lio.

Pak Bro paling tua di antara mereka, tentu sepak terjang beliau dalam percintaan sudah matang. Nava mengatur napas dan pergi ke lapangan basket belakang rumah.

Lapangan kecil sudah diselimuti senja, Rey tengah bermain seperti macan mengamuk menerjang angin dengan amarah, mukanya merah bukan keringat tapi rasa kesal. Shooting bola untuk kesekian kalinya dengan perasaan jengkel, tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang.

"Kak, jangan buat aku seperti orang asing. Banyak wanita di sana yang akan mencuri perhatian Kakak dan merebut Kakak dariku. Satu kesalahan kecil dalam hubungan itu wajar, aku minta maaf." Nava memeluk erat Rey sambil sesenggukan.

"Kamu bilang kesalahan kecil? Ini soal kamu deket sama Anas, kamu bilang ini kesalahan kecil?" Rey melepaskan tangan gadisnya yang memeluk dan balik kanan melototi gadisnya.

"Kasih aku waktu untuk ngejelasin," pinta Nava.

"Kamu mau bilang kalau kamu gak ada apa-apa 'kan sama Anas." Ia menebak dahulu.

"Selama ini Kakak salah paham sama Kak Anas."

"Sering pulang bareng cowok lain ketimbang pacarnya sendiri, itu namanya salah paham? Selalu menghabiskan waktu istirahat dengan makan berdua semeja di kantin, itu salah paham? Main ke rumah cowok lain dan pulang lewat magrib, itu juga salah paham? Bilang ngerjain tugas padahal main PS, itu juga salah paham? Aku sudah bilang sama kamu untuk selalu jujur soal apa pun, tapi apa? Sekarang kamu mau jujur dan cerita soal Anas dan Livina, iya. Telat, Nav. Selama ini aku bisa sabar liat kamu sering pergi diem-diem sama mereka, tapi pagi itu, Anas bikin pengumuman di lapangan kalo kamu pacar barunya!" Ia melototi gadisnya.

"Kak Rey tolong, kasih waktu sedikit aja buat aku ngomong."

"Ngomong sekarang!!" bentakknya. Nava menangis semakin menjadi-jadi.

"...." Nava membisu.

"Gak bisa 'kan! Sama Nav! Aku juga gak bisa ngomong apa-apa denger mereka bicarain kamu pacar barunya ketua Crueller di depan aku!" Kembali ia melototi gadisnya

The Last of True Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang