Bagian 3

15 10 0
                                    


Mega merah mulai menghitam. Gilang, Rey, dan papanya berpamitan. Mereka melenyapkan punggung di persimpangan jalan. Hari yang manis untuk Nava, semoga Rey benar, ini tidak akan jadi kenangan.

Ia senyum-senyum sendiri menatap gerbang. Esok, lusa, atau nanti ia berharap segera mengetahui penyakit aneh yang akhir-akhir ini membuatnya gugup. Penyakit yang selalu datang saat bersama Rey. Sering tak rela melihat cowok jangkung itu meninggalkan gerbang, walaupun sudah berjanji besok akan bertemu.

Saking asik melamun, ia menabrak tong sampah. Suara gemblandang mengundang kakaknya yang mengelap motor di halaman juga.

"Nav, kamu yang nabrak tong sampah?" Wajah kakaknya heran. Nava mengangguk sambil membereskan sampah kering.

"Kamu ngantuk?" tambah kakaknya. Nava menggeleng sambil berjalan nyengir ke arah kakaknya.

"Selamat malam, Kak." Tumben-tunbenan adiknya memberi ucapan.

PRAK!

Ia menabrak kursi di samping pintu karena berjalan mundur. Di sana Agam mengernyit melihat Nava membenarkan posisi kursi. Kembali Nava berbalik dan melebarkan senyum untuk kakaknya, sekarang kakaknya mengangkat alis.

***

"Nav, pagi ini kamu berangkat sama Kakak, ya. Ayah harus dateng di proyek sebelum pukul enam pagi." Ayahnya mengabari lewat telepon saat ia memakai sepatu.

"Iya. Ayah hati-hati di jalan." Sementara di luar motor kakaknya meraung-raung pongah siap pakai. Ia segera meneguk air putih di meja, mengambil napas kemudian berjalan santai ke teras. Dilihatnya, Rey sudah mangkring di luar gerbang, mereka saling lempar senyum.

"Kak, aku duluan, ya." Ia menyambet tangan kakaknya.

"Kata ayah tadi ...." Kakaknya belum selesai bicara, ia langsung lari keluar gerbang. Agam manggut-manggut melihat Rey.

"Men!! Nava berangkat sama gue, ya!"

Di jalan mereka bergurau, menikmati pagi yang macet. Mulai dari menghitung orang yang turun dari kopaja, menebak warna baju orang dalam mobil, menyapa polisi, dan hal konyol lainnya.

Tak terasa Rey melewati sekolah Nava. Sambil terpingkal-pingkal ia memutar balik motornya.

"Semangat ujiannya." Rey mengucapkan duluan.

Nava melempar senyum kepada Rey.

"Huft itu membuatku semakin jatuh cinta," lirih Rey.

Setelah punggung gadis yang melumerkan hatinya tak terlihat, ia baru meninggalkan SMP negeri itu.

***

IHS Indonesia sudah siap menyambut berbagai peserta lomba debat bahasa Indonesia. Setiap tahun, IHS menjadi tuan rumah. Lokasinya berada di pusat kota dan strategis. Berbagai warna seragam tingkat SMA mulai memenuhi area outdoor, mereka mengantre nomor dan registrasi sesuai urutan sekolah. Tentu tim Anas mendapat nomor satu.

Suara tepuk tangan menggema menjadi tanda pembukaan festival sastra dimulai. Mendadak suasana area outdoor tegang. Muhadjir Effendi, mentri pendidikan dan kebudayaan Indonesia berdiri di depan kotak kaca piala. Beliau bersiap menggunting pita yang melintang. Suara detakkan gunting sepersekian detik langsung disambut tepukkan tangan diikuti teriakkan audien yang pecah. MC langsung membagi menjadi dua grub, grub A dan grub B. Masing-masing grub akan bertanding secara terpisah untuk mendapat tim unggul. Nanti akan beradu mulut di atas podium pada babak final.

Rey dan Gilang sudah duduk di kursi paling depan. Menjajari peserta lomba yang gugur di awal, tentu dari sekolah lain. Gadis-gadis itu menjadi salah tingkah dan jingkrak-jingkrak sesama teman saat Gilang melempar senyum, ditambah Rey mengedipkan sebelah mata.

The Last of True Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang