4. Bom Yang Siap Meledak

26 13 10
                                    

Aku berjalan menuju meja di dekat jendela dengan view jalanan itu. Seorang pria muda yang sedang duduk di sana, tersenyum lebar menyambutku.

Beberapa orang terlihat berlalu lalang di balik kaca jendela.

"Luna, senang bertemu langsung denganmu," kata pria muda itu sambil mengulurkan tangan kanannya.

"Harys."

"Ok Harys. Terus ke pokok masalahnya saja. Hari ini aku sangat capek, bahkan aku kemari langsung dari tempat shooting," kataku memotong pembicaraannya dan langsung menarik kursi dan duduk di hadapannya.

Pria itu mengerutkan keningnya lalu tertawa terkekeh. "Luna, Luna. Kita kemari bertemu untuk kencan pertama kita. Apa sebaiknya kita menundanya? Mungkin di lain waktu."

"Kau manis sekali, Harys. Baiklah. Aku tak akan membuatmu kecewa. Aku Luna, Saito Luna," kataku sambil mengulurkan tangan kananku dan tersenyum manis padanya.

Pria itu menyambutnya dengan sopan. "Ya, aku banyak mendengar kisahmu dari majalah bahkan siaran televisi."

"Ah, kau terlalu berlebihan, Harys. Aku hanyalah seorang aktris kecil. Bukanlah bintang besar," kataku merendahkan diri.

Harys terkekeh, "Begitulah seorang bintang tak perlu memperlihatkan sinarnya, tapi sinar itu terpancar dengan sendirinya walau ia berada jauh."

"Bintang hanya bersinar indah di tempat yang gelap, Harys," kataku mengingatkan. "bahkan banyak bintang yang lebih terang di luar sana melebihiku."

Harys tersenyum dan memujiku, "Seorang bintang yang rendah hati."

"Baiklah Harys. Kurasa kau sudah mengetahui diriku dengan baik. Sangat tak adil bila kau tidak memperkenalkan dirimu."

"Namaku Harys Mahendra. Pekerjaanku hanya mengurus sedikit masalah di Mahendra Grup, tempatku bekerja," kata Harys sambil menatapku tajam.

"Mahendra Grup? Nama yang cukup akrab di telingaku. Apakah bisnismu bergerak dalam bidang properti?"

Harys mengangguk. "Aku mengelolanya dengan bantuan banyak orang yang kompeten di bidangnya."

Aku mendadak panik saat melihat jendela kafe. Entah kenapa rasa tak nyaman tiba-tiba muncul bersama berkas-berkas kilatan cahaya yang menyapa di wajahku.

Mengapa banyak wartawan di sini. Di luar dan di dalam kafe. Celaka! Tamatlah riwayatku!

Napasku tiba-tiba memburu. Ketakutan, panik. Aku tak dapat menguasai diriku. Ya Tuhan. Apakah bom ini akan kembali meledak.

"Maafkan aku Harys. Kita harus bertemu lagi lain waktu. Hubungi aku. Aku harus pergi," kataku dengan nada panik lalu aku berlari keluar dengan cepat.

Gerald berdiri dari mejanya dan mengejarku keluar. "Nona!" panggilnya sambil mengikuti langkahku.

Namun aku tetap berlari tak tentu arah. Tanpa aku sadari, aku masuk ke daerah yang jauh lebih ramai daripada sebelumnya. Dimana aku? Celaka. Apakah ini pasar? Terlambat. Semua mata menatapku. Sepertinya mereka mengenali aku. Dan mereka bergerak mendatangi aku. Ya Tuhan, kepalaku terasa seperti meledak. Aku bersandar di dinding dengan badan yang terasa lemas.

Bayangan masa laluku kembali berkelebat. Saat aku digiring beberapa siswi dan di sekap di dalam gudang peralatan sekolah.

Di ruang sempit itu, cahaya sangat minim. Hanya sedikit sinar matahari yang menerobos masuk melalui satu jendela kaca di satu sisi ruangan.

Mereka mengikat kedua tanganku dan menyuruhku duduk di sebuah bangku usang dan mulai melancarkan aksinya.

"Luna Kichida, siswi pemberani," kata siswi itu sambil menyemburkan asap rokok dari dalam mulutnya ke wajahku. Napasku menjadi sesak, gatal dan membuatku terbatuk. "Atau sebenarnya kau siswi yang tak tahu malu?"

I Hate To Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang