7. Cari Pelakunya!

26 13 12
                                    

"Luna!"
Seorang wanita berparas cantik dengan penampilan awal 40 tahunan masuk ke dalam kamarku.

"Apa kau baik - baik saja?" tanyanya dengan nada cemas. Diletakkannya sebuah parcel berisi buah segar diatas meja.

"Gak apa - apa, kak Inez. Gimana hasilnya?" Aku berusaha duduk di ranjangku.

"Ya, masih aku perjuangkan," kata managerku yang masih saja melajang itu. "Luna, aku mendapat telepon yang mengundangmu sebagai tamu dalam sebuah acara talkshow TV. Apakah kau bersedia?"

"Aku akan memikirkannya," jawabku. "kau terlihat begitu lelah, kak Inez."

"Iya. Bahkan aku belum pulang ke rumahku." Kak Inez menarik kursi dan duduk di sebelah ranjangku.

"Maafkan aku, kak. Sudah merepotkanmu."

"Tidak apa - apa. Kau bisa mengandalkanku," kata Inez. "tapi Luna, apakah setelah itu kau akan pindah ke sana?"

"Aku ingin, tapi sebaiknya tidak. Aku sudah sangat mencintai negara ini. Bahkan semua kenangan hidupku ada di sini," jawabku dengan nada getir.

"Jadi apa yang akan kau lakukan pada warisan kakekmu?"

"Entahlah. Mungkin aku akan mengurusnya dari sini. Atau bisa juga aku menjualnya," kataku.

"Kak, jangan khawatir. Pulang dan istirahatlah," kataku pada wanita yang telah mengurus segala keperluanku selama 5 tahun ini. "aku tak mau kakak ikut sakit."

"Jangan cemas, aku akan baik - baik --" Kak Inez menggenggam tanganku.

"Pulanglah kak. Percayalah padaku. Kau butuh istirahat, kau lelah," kataku sambil menepuk lembut tangan perempuan yang menggenggam tangan kananku itu.

"Baiklah. Hubungi aku jika kau membutuhkan sesuatu," katanya sambil mencangklong tas di bahunya.

"Tenanglah kak. Gerald bisa mengatasi semuanya," kataku.

Aku menatap kak Inez yang berjalan keluar dari kamarku. Hari semakin malam dan aku mulai bosan tanpa bisa melakukan sesuatu.

"Ger, tolong bantu aku. Aku ingin pulang, sekarang," kataku dengan nada tinggi.

Gerald mengangkat bahunya, menyerah dengan sifat keras kepalaku. Dia menekan bel untuk memanggil perawat.

Seorang perawat datang memasuki kamar dengan tergopoh - gopoh.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.

"Sus. Sepertinya pasien sudah membaik. Dia ingin pulang saat ini juga," kata Gerald. " bisakah dibantu untuk persiapan administrasi dan melepas selang infusnya?"

"Apa anda tidak menunggu pemeriksaan dokter dulu?" tanya sang perawat.

"Kami akan datang besok untuk pemeriksaan lebih lanjut," sahutnya.

"Baiklah.Tunggu sebentar," jawabnya.

Tak lama kemudian perawat itu kembali dengan peralatannya. Perawat itu melepaskan jarum infus yang masuk ke dalam pembuluh darahnya dan menempelkan plester penutup.

"Baiklah, Nona. Kita pulang," kata Gerald.

"Benar, kita harus pulang. Aku harus mempelajari adegan 205."

"Nona, anda memang keras kepala," sahutnya.

Gerald mengiringi langkahku keluar dari kamar. Menyusuri lorong sepi rumah sakit.

Sebuah brankar tiba - tiba di dorong dengan cepat oleh beberapa orang hingga hampir menabrakku. Gerald segera menarikku ke dalam pelukannya, berusaha melindungiku supaya aku bahkan tak melihat pasien di atasnya.

I Hate To Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang