8. Tak Tersentuh Hukum

17 11 10
                                    

"Apa kau sudah mendapatkan data yang kemarin aku minta, Ger?" tanyaku begitu laki - laki itu melangkah masuk ke dalam ruang keluarga.

Gerald menyodorkan sebuah binder tebal yang penuh berkas. "Aku mengambil berkas kasus yang ditangani ayahmu selama bulan itu."

Aku menerima binder tebal itu, meletakkannya di atas kedua pahaku dan mulai memeriksanya, membukanya lembar demi lembar.
"Kerja bagus, Ger." Aku memujinya dengan memberikan sebuah jempol sebagai apresiasiku atas bantuannya.

"Jadi sekarang apa kau akan berangkat ke lokasi shooting, atau memeriksa berkas itu?" Pria itu mengingatkanku akan sesuatu yang harus aku lakukan.

Ya, Gerald tahu hampir setiap kegiatan dan shooting yang telah terjadwal untukku. Bahkan aku tak perlu mengandalkan Kak Inez untuk hal ini. Terbukti selama Kak Inez aku beri tugas mengurus hal hak waris dari almarhum kakek di negeri sakura itu, Gerald mampu mengurus segalanya dengan baik.

Kadang kala aku berpikir, mungkin jika kelak Kak Inez pensiun, aku bisa memanfaatkan Gerald sebagai penggantinya, sebagai managerku.

"Ah -- shooting, adegan 205. Aku hampir melupakannya." Aku menutup berkas itu dan meletakkannya di atas meja.

"Aku akan bersiap sebentar." Aku bergegas masuk ke dalam kamarku.

🌼🌼🌼
Pria itu duduk di kursi taman dengan memegang sebuah botol bir di tangan kanannya. Tatapan matanya kosong. "Nadyaa, perempuan jahanam!" serunya sambil melemparkan botol itu ke jalanan.

Aku mendekatinya dan duduk di sebelahnya. "Mike, apa kau baik - baik saja?"

Pria itu menoleh, menatap kedua manik mataku. "Bagaimana kau lihat? Apa aku terlihat baik - baik saja setelah berkali - kali kau sakiti, Nadya? Tidakkah kau melihat hatiku berdarah - darah. Aku kesakitan, Nadya."

Kedua tangan pria itu kini memegang pipiku, seakan ingin meremasku menjadi serpihan kecil.
"Mike, kau mabuk. Ini aku, Mike. Jeanie."

"Nadya. Kau tahu, bahkan aku telah mengampunimu berkali - kali. Itu karena aku sangat mencintaimu, Nadya." Pria itu mendekatkan bibirnya hendak menciumku.

Sebuah tamparan mendarat di pipi kirinya. Pria itu terkejut dan melepaskan pegangannya. Aku berdiri lalu menatapnya dan tangan kananku yang baru saja mendarat di pipinya secara bergantian.

"Maafkan aku, Mike. Aku memang menyukaimu, tapi aku bukan Nadya. Aku mau kau menyukaiku sebagai diriku sendiri, sebagai Jeanie. Bukan sebagai orang lain."

Aku menggelengkan kepala, mundur teratur secara perlahan dengan air mata yang menetes di pipiku.

"Cut!!"
Sang sutradara berteriak dengan suara lantang menyelesaikan adegan 205.

"Ok. Semua bereskan lokasi. Kita akan pulang. Pastikan tidak ada barang kita yang tertinggal!" teriaknya sambil menepuk tangannya keras-keras seakan memberi semangat kepada para krunya untuk bekerja lebih cepat.

Sutradara menghampiriku. "Adegan ini hampir saja aku undur karena kejadian kemarin."

Aku tertawa. "Maaf sudah membuatmu khawatir. Mungkin aku harus mengurangi jadwal kegiatanku. Aku terlalu capek, karena jadwalku yang sangat padat."

Dari kejauhan, aku melihat Harys menghampiriku. "Baiklah tuan sutradara, sebaiknya aku pergi dulu."

Aku berjalan menghampiri Harys dengan senyum merekah di wajahku. "Kau datang, Harys? Apa kau sedang tidak sibuk hari ini?"

"Aku hanya ingin menyapa wanita cantikku." Harys mengangkat tanganku dan mengecupnya dengan sopan. Sementara di tangan kirinya sebuah buket bunga yang indah disodorkan kepadaku.

I Hate To Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang