9. Sang Saksi

15 11 2
                                    

Sesampai di rumah, aku memutuskan untuk tidak beristirahat. Aku meletakkan binder tebal itu diatas meja ruang keluarga. Dan mulai memeriksanya satu persatu.

Tentu saja aku tak mungkin langsung mempercayai Gerald. Perusahaan kontruksi yang ternama di kotaku adalah lawan papa? Dalam kasus apa? Siapa tepatnya orang yang dilawannya?

Mataku terbelalak ketika membaca file yang kutemukan. Nama kliennya adalah Ibu Astuti, seorang janda yang saat itu berusia 40 tahun. Dialah orang yang berusaha dibantu oleh papa di saat terakhirnya.

Aku membalik lembaran itu ke halaman berikutnya. Wanita itu menuntut perusahaan konstruksi itu atas kematian suaminya, Bapak Sutijoso, 43 tahun. Seorang pekerja kasar proyek salah satu apartemen dari Mahendra Grup.

Dengan tangan gemetar aku kembali membalik berkas kasus itu. Sebuah catatan tangan dari papa, aku hafal dengan goresan tangan yang selalu dibubuhkannya pada hampir setiap buku sekolahku dan rapotku.

Papa menorehkan beberapa fakta yang telah dia temukan. Beberapa keganjilan yang mungkin membuat jiwanya terancam.

"Catatan, Bapak Sutijoso sempat bertengkar dengan sang kontraktor. Dia bertengkar karena sarana keselamatan yang kurang memadai untuk para pekerjanya. Dia seorang mandor yang memperhatikan keselamatan dan kenyamanan pekerjanya. Arif, 20 tahun, pemuda yang melihat Bapak Sutijoso terlempar dari lantai 6 apartemen yang belum selesai dibangun itu. Aku harus membantu istrinya memperoleh keadilan."

Air mataku meleleh jatuh ke pipiku. Aku dapat membayangkan apa yang ada di pikiran papa. Kegelisahannya dalam mengatasi kasus ini.

"Papa, apa kau saat itu melawan monster itu sendirian? Apakah saat itu kau ketakutan?" Tubuhku bergetar, kemarahan yang berpadu dengan kesedihan bercampur aduk menjadi satu.

Gerald menepuk bahuku. "Aku harus membalasnya, Ger." Aku menutup binder tebal itu dan menarik napas panjang. Aku harus menenangkan diri dan memikirkan langkah selanjutnya.

"Ger, kita harus mencari Arif!" Pikiranku tiba - tiba tertuju pada sosok saksi kunci yang tertulis di catatan tangan itu.

"Nona, kau tak perlu mencarinya. Dia sedang ada di sel. Dia ditahan." Gerald menarik kursi dan duduk di depanku.

Aku menggigit bibirku berusaha meredam emosiku, menutup mataku sambil memikirkan langkah selanjutnya.

"Dengan tuduhan apa? Kenapa polisi menahannya?" tanyaku.

"Pembunuhan Bapak Sutijoso dan Bapak Antonio Kichida," kata Gerald. "Apa nama keluargamu Kichida?"

"Benar. Margaku Kichida."
Sejenak pandangan kami bertemu. Aku melihat kesan canggung dan gugup di matanya.

"Apa kau mengenal seseorang yang lain dengan nama itu?" tanyaku sambil bangkit dari kursiku. Aku berjalan dengan santai menuju lemari pendingin, meraih sebuah botol di dalamnya dan meraih dua buah gelas di dalam lemari gantung dan berjalan kembali ke mejaku.

"Kau tidak akan menjawabku, Ger?"
Aku menuang minuman beralkohol itu ke dalam gelas kami. Kali ini tak seperti biasanya, pria itu meraih gelas itu dan menghabiskannya dalam sekali teguk.

Aku menangkap raut penyesalan tersirat di wajahnya. "Gadis itu," katanya. Gerald menuang lagi alkohol ke dalam gelasnya dan langsung mereguknya. "gadis Kichida di sekolahku. Aku menemukannya, dia di buli di dalam gudang."

"Aku tak bisa menolongnya," katanya. "Kichida. Nama itu melekat di pikiranku."

"Kenapa kau tak bisa menolongnya?" tanyaku. Sambil menuang kembali minuman beralkohol itu ke dalam gelasnya. Dengan cara ini, aku bisa mengetahui pikiran dan perasaannya.

I Hate To Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang