67. Akar Permasalahan

1.6K 239 17
                                    

"Hah?"

Klevian mengangguk pelan, dia menghela nafas. Tau jika respons  yang ia dapat akan seperti ini.

"Gue juga baru tau, gue pergi tadi ke pemakamannya. Gue sempat lihat Shadian sama Shaden tapi gue nggak sempat ketemu." Klevian meraih sebotol air mineral dari dalam laci.

"Ini beneran?" Kaella masih tidak percaya. "Dia ada di mobil yang sama dengan gue, tapi dia meninggal?"

"Sekitar jam satu dia meninggal. Terus langsung di makamkan, orang tuanya kelihatan terpukul sih. Sekejam-kejamnya dia tetap anak mereka." Klevian duduk di kursi. "Jadi, perasaan lo gimana?"

Safiria meninggal.

Sebuah kabar yang membuat kaget, tidak disangka akhirnya akan seperti ini. Akhir yang tidak pernah terbayang sama sekali.

"Gue nggak percaya aja.. Gue nggak separah itu, tapi dia sampe meninggal. Padahal kita ada di kejadian yang sama." Kaella menatap langit-langit ruang inapnya. Rasanya seperti sulit untuk di percaya.

Kecelakaan itu terjadi memang karena kesengajaan, mereka berada di dalam mobil yang sama dan mengalami hal buruk. Tapi ini sangat diluar dugaan, Kaella tidak pernah berpikir jika kematian yang akan mengakhiri semua ini. Terasa kejam.

"Orang tuanya minta maaf sama lo atas nama Safiria." Klevian menatap Kaella yang terdiam. "Gue tau nggak semudah itu maafkan dia setelah semua yang terjadi. Gue bahkan masih belum bisa terima apa yang terjadi sama gue karena dia. Pelan-pelan aja."

"Shadian? Dia gimana?"

"Lo bucin banget ya?" Klevian berdecak. "Gue cuma lihat dia sekilas aja tadi. Mungkin sekarang dia malah udah baik-baik aja, pengaruh itu udah lepas ketika pemiliknya meninggal."

Kaella pernah mendengar jika hal yang terjadi pada Shadian bisa hilang jika si pemilik--pemberi--meninggal. Jika benar Shadian baik-baik saja, itu hal yang baik. Shadian tidak perlu lagi merasakan sakit.

"Tugas gue udah selesai ya berarti." Kaella tersenyum membuat Klevian menatap adiknya itu. "Tujuan awal gue mau balas dendam, enggak jadi. Terus akhirnya gue mau selamatkan dia, dan sekarang udah selesai. Berarti udah dong. Gue nggak punya alasan lagi buat dekat sama dia." Kaella tertawa.

"Bukan lo mau berhenti berharap?"

"Memang, tapi susah. Gimana ya, gue suka sama dia bukan sebentar. Bertahun-tahun dia doang yang ada di hati gue, gimana gue mau lupain cepat-cepat." Kaella terkekeh. "Nggak tau lah, Bang. Gue kayanya mau pasang muka tembok aja, kalo dia anggap gue teman ya oke, enggak juga oke. Apa aja lah. Tapi... "

Kaella menunjuk, menatap tangannya yang terdapat selang infus. "Gue.. Masih mau di dekat dia.. Bang, kok gue bego ya? Mau gitu perjuangin dia yang bahkan nggak tau gue sampe kayak gini." Kaella menggigit bibir bawahnya. "Bego nggak sih?"

Klevian menepuk kepala Kaella. "Kalau dia memang buat lo dia akan kembali lagi ke elo, entah bagaimana caranya. Kalaupun tidak setidaknya lo akan tertawakan hari ini di masa depan sebagai hal bodoh yang pernah lo lakuin untuk orang lain. Anggap aja berbuat baik."

Kaella mengusap air matanya, mengangguk beberapa kali. "Oke."

"Lo kalo nangis jelek."

Kaella mendengkus. "Biarin."

Klevian tertawa.

***

Ruang tamu Shadian kali ini didatangi oleh kedua orang tua Safiria, yang menjelaskan semua yang terjadi serta bukti rekaman. Dengan harapan bisa memaafkan anak mereka.

Orang tua Shadian memberikan semua keputusan pada Shadian, walau sulit Shadian akan mencoba. Umur memang tidak ada yang tau.

"Gimana perasaan lo sekarang?" Melssa duduk disamping Shadian yang meminum milo dengan mata menatap ponsel.

"Perasaan apa?" Shadian menaikkan sebelah alis.

Berdecak, Melssa melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah datar. "Lo masih bukan elo lagi? Atau?"

"Gue merasa lebih ringan aja sih badan gue, kayak lepas dari sesuatu." Shadian meraih beberapa kuaci di atas meja. Ruang tamu rumah Shaden jadi sasaran kumpul-kumpul mereka.

"Jadi lo udah percaya kalau Kaella yang elo cari?" Melssa menatap Shadian yang mengangguk. "Tapi kenapa lo santai banget? Nggak kaget atau gimana gitu?"

"Gue udah curiga emang, tapi nggak sampai langsung mengarah ke situ. Setelah dengar kalian semua makin masuk akal, itu aja." Shadian menawari kuaci yang ia sudah buka ke Melssa yang menggeleng, cewek itu sudah kenyang. Shadian memakan kuaci yang telah ia buka. "Gue udah bilang ke Kaella buat jelaskan semua. Tapi nggak sekarang, biar dia pulih dulu."

"Lo udah ketemu Kaella?" Melssa meletakkan gelas berisi jus di atas meja. "Lo bilang apa ke dia?"

"Udah biarin aja." Tahta menepuk kaki Melssa, cowok itu duduk di karpet bersama River dan Shaden. Kebetulan duduk di depan Melssa yang berada di atas sofa. "Kita dukung yang baik aja."

"Nanti kalau jadi 'kan kita juga paling kena-kena sedikit jadi pantau aja." Shaden menambahkan, cowok itu mengganti chanel televisi. "Semoga cepat jadi aja."

"Kalian ngomong apa sih?" Shadian menggeleng beberapa kali. "Doain aja Kaella cepat sehat."

"Kayanya nggak ada harapan deh." Gisell dengan sebungkus keripik dipelukannya menatap Shadian super datar. "Masalahnya cuma di sini aja."

"Dia pura-pura mungkin." Tahta melirik Shadian yang tampak kebingungan. "Enggak deh, dia bego emang."

"Kasian ya, udah berkorban. Eh, nggak ada otak yang di perjuangkan." Melssa geleng-geleng kepala, menatap Shadian yang kebingungan. "Dia bingung sekarang."

"Kalian ngomong yang jelas bisa? Gue nggak ngerti." Shadian menatap satu-persatu teman-temannya tapi yang ia dapati hanya wajah datar dengan senyuman masam dari semua teman-temannya. "Gue salah dimana?"

"Ganteng tapi bodoh." River berdecak beberapa kali. "Kasian banget ya, semoga aja tuh nggak kabur. Kalo gue jadi dia sih nyerah aja, kayanya sampe planet Pluto panas nggak bakal jadi ini."

Shadian mengerutkan kening. "Apa sih?"

"Males ah, lemot banget!" Tahta melempar kulit kuaci pada Shadian. "Gue kasih minum air comberan juga."

"Sabar." Melssa tertawa. "Tapi kalo lama-lama jangan takut ketikung, ya? Yang sana kayanya mulai mendekat lagi."

"Sumpah. Gue nggak ngerti." Shadian menggeleng.

"Kayanya gue tarik lagi kata-kata gue kalau Shadian pintar, dia kalo lagi lemot kek jaringan di hutan belantara, nggak nyambung!" Gisell menatap Shadian dengan tatapan semakin datar. "Otak lo kayanya perlu di bawa ke bengkel."

Shaden mengangkat tangannya. "Udah, jangan berantem. Lebih baik pesan makanan, gue lapar."

"Lo yang punya rumah beliin lah." River yang duduk di samping Shaden melempar kulit kuaci yang mengenai dahi Shaden.

"Udah datang enggak diundang, ngelunjak lagi. Dasar anak baaa... Pakkk kauu.." Shaden menyengir saat sang Mama tidak sengaja lewat. "Ma, lapar."

"Udah Mama pesan."

"Aduh, tante nggak usah repot-repot tau aja kami lapar." Tanta menyengir lebar.

"Kayak sama siapa aja." Mama Shaden terkekeh. "Nanti bayar, Mama mau pergi sebentar." Shaden berdiri dan berlari secepat kilat untuk menerima dana untuk membayar makanan mereka.

"Makasih Tante!" Suara serempak dari Melssa, Gisell, Tahta, Shadian dan River membuat Mama Shaden tertawa.

"Dasar manusia gratisan lo semua!" Ucapan Shaden ditanggapi dengan tawa oleh teman-temannya.

. . .

Jangan tanya kapan update

ShadianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang