Chapter 18

230 36 10
                                    




Ketika ada rasa ingin menyerah, ketika hati mengira tak ada yang peduli, ingatlah kembali; penciptamu tak pernah membentukmu tanpa ada alasanmu untuk bahagia


Ketika ada rasa ingin menyerah, ketika hati mengira tak ada yang peduli, ingatlah kembali; penciptamu tak pernah membentukmu tanpa ada alasanmu untuk bahagia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Matahari sepenuhnya telah tenggelam. Sayup-sayup suara serangga malam mulai terdengar bersahutan dibawah terangnya sinar bintang yang saling berlomba menyinari isi bumi.

Pemuda itu masih mengenakan baju sekolah, tertidur lemah di lantai koridor dengan dengkuran halus yang membuatnya terlihat menyedihkan.
Bergerak kecil, pemuda itu terbangun dari tidur lelapnya.

Setelah mengumpulkan seluruh kesadarannya, ia mengubah posisi menjadi terduduk dan kini bersandar di dinding kelas. Memeriksa ponselnya, ia tertawa miris. Sama sekali tak ada yang mempedulikannya? Tidak ada yang mencarinya? Bagus. Zweitson suka ketidakpedulian itu.

Tubuhnya masih panas dan kepalanya masih pusing walau tak separah tadi sore.

"Gimana Fiki ya? Dia udah ketemu, belum?" di sela-sela kesedihannya, pemuda itu mengingat sang adik.

Perlahan, ia mulai bangkit dan berjalan keluar dari area sekolah, mengamati jalan raya yang diterangi lampu malam dan sahut-sahutan klakson kendaraan yang terdengar berisik.

Ponselnya berdering, menampilkan nama Shandy di layarnya.

Zweitson menghela napas pelan. Ia tahu setelah ini apa yang akan terjadi.

"Hal-"

"Pulang!"

Sudah ia duga, Shandy pasti marah. Padahal Shandy yang meninggalkannya.

"Iya. Lagi nyari taksi."

"Cepat pulang! Abis kamu makan, abang mau bicara."

Tutt--

Sambungan terputus. Kini tinggal Zweitson dan keramaian malam yang tersisa. Masih memandang layar ponselnya yang perlahan padam, Zweitson mencoba berpikir sepositif mungkin entah apapun yang terjadi nantinya.

"Semoga Mama udah ke luar kota lagi." Ia memesan sebuah taksi online. "Gue gak mau Bangsen dimarahin lagi karena gue," ujarnya meremas ponselnya tanpa sadar.

***

"Son!"

Zweitson tersenyum lega ketika melihat Fiki berjalan cepat ke arahnya yang masih berada di depan pintu.

"Lo dari mana, anjir.." Fiki mengambil alih tas Zweitson lalu beriringan masuk ke rumah.

"Sekolah. Gue ketiduran."

Fiki mengerjap. "Ketiduran? Son, gue minta maaf, gue ga maksud ninggalin lo sendirian. Tadi gue ke rumah temen. Gue kira bentar doang, eh kebablasan ampe sore terus hp gue juga abis baterai."

Tak Seiring (Slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang