Fenly kecil berdiri di bawah pohon mangga. Sesekali jarinya bergerak menuliskan namanya secara semu di batang pohon itu.
Hampir setengah jam, namun mamanya belum juga memanggilnya untuk masuk ke dalam rumah mewah yang katanya adalah rumah papa Fenly.
Kini bocah itu terduduk, menyandarkan diri di pohon mangga itu lalu menutup matanya. Mengantuk menunggu Mama yang lama sekali memanggilnya masuk.
"Kamu tunggu di sana dulu ya, Fen. Nanti Mama panggil kalo Mama udah selesai bicara sama Papa kamu. Oke?!"
Fenly mendengkus. Tak menyangka pembicaraan Mama dan Papanya akan selama ini.
Tiba-tiba seorang anak kecil keluar dari rumah itu membuat Fenly menoleh padanya.
Bocah itu mengintip di balik kursi penyangga sebuah pot di depan rumahnya, sesekali menyembulkan kepala kecil untuk melihat Fenly.
Fenly menyadari hal itu lalu melambaikan tangan pada bocah yang berumur 2 tahun lebih muda darinya.
"Hai, ayo sini!" Fenly memanggil bocah itu.
Awalnya dia kembali bersembunyi di balik pot yang menutupi tubuhnya, namun beberapa saat kemudian ia kembali mengintip lalu dengan perlahan berjalan menuju tempat Fenly berada.
"Hai, nama kamu siapa?" Fenly kecil itu menyodorkan tangannya, ingin menyapa bocah 3 tahun yang kini tersenyum sungguh lebar di depannya.
"Zweitson."
Fenly mengerutkan kening. Kecadelan bocah itu membuat Fenly susah mengenali perkataannya.
"Wetson?"
Bocah itu menggeleng. "endakk.. bukan Wetson, tapi Zweitson!" Ia mengoreksi.
Fenly menggaruk tengkuknya, sama sekali tak bisa mengenali nama bocah itu.
"Nama kamu susah banget!" Fenly jadi ikut sebal.
Zweitson cemberut, menggembungkan pipinya lalu memukul pelan lengan Fenly. "Kamu ubah-ubah nama aku!" ujarnya.
Fenly mengelus lengannya, lalu menatap Zweitson dengan rasa bersalah. "Aku bukan mau ubah nama kamu, tapi aku gak ngerti kamu bilang apa." Mencoba menjelaskan namun apa yang ditahu oleh anak umur 3 tahun?
Fenly menghela napas pelan. "Kalo aku panggil Soni, boleh?"
Zweitson menggeleng cepat. "Namaku Zweitson, bukan Soni." Ia lalu duduk di rerumputan bawah pohon itu dan diikuti oleh Fenly. "Kata abang Sen, nama aku bagus, gak boleh diubah-ubah." Ia mencoba menjelaskan.
Fenly menghela napas, jadi serba salah.
Kini kedua bocah itu duduk diam-diaman sambil sesekali melirik satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Seiring (Slow update)
Fiksi PenggemarApa harus hilang dahulu lalu rasa mulai muncul? Dia sendiri. Tanpa genggaman tangan siapapun lagi. Membenci seluruh dunia yang tak menemaninya ketika malam. Namun, dia pemuda yang kuat. Dia tak suka balas dendam. Dia lebih suka memendam. Lalu gadis...