>>> • <<<Izinkanku lukis senja
Mengukir namamu disana
Mendengar kamu bercerita
Menangis tertawaMelukis Senja - Budi Doremi
>>> • <<<
---- ephemeral ----
Semburat oranye dari baskara yang mulai menghilang menyisakan jejak gradarasi yang adiwarna kala mata memandang. Sekitar pukul setengah enam sore, ketiga pemuda yang entah darimana asal-usulnya, sekonyong-konyong dipertemukan oleh takdir hingga menjadi erat persaudaraannya.
Dibawah jembatan layang Pasupati, mereka bertiga duduk di atas balok taman jomblo. Sengaja Karendy membawa kedua saudaranya kemari--untuk bersantai sambil makan cilok. Awalnya Naufal menolak, karena katanya dia bukan jomblo, padahal itu cuma alasan tidak ingin datang kesini jalan kaki. Ghaisan yang anaknya penurut, dia oke-oke aja bebas mau ngapain. Di ajak main barbie aja mau, asal sama anak kecil. Iya lah, gak berani nolak kalau sama anak kecil.
Sebenarnya mereka bukan sengaja mau ke sini bersantai sambil makan cilok--kalau ini di kost juga bisa. Sekitar pukul setengah lima sore, mereka berkeliling mengunjungi beberapa anak-anak dan membagi beberapa makanan.
"Duduk di atas balok gak bakalan bikin lo jadi jomblo, kok, Bang." Yang muda mulai membuka suara kala ketiganya sampai di taman. Karendy dan Ghaisan duduk berhadapan, sedangkan Naufal duduk di antara keduanya di atas paving blok.
Karendy geleng-geleng kepala, "Aneh lo."
Naufal mengendikkan bahunya, sibuk makan cilok Mang Ubed yang tinggal sisa empat lagi, karena di perjalanan ia sibuk makan cilok.
"Lo berdua tahu, nggak? Kenapa taman ini, namanya Taman Jomblo?" Naufal menatap kedua orang di depan samping kanan kirinya. Sedang yang ditanya saling menatap, lalu menggelengkan kepalanya.
"Kenapa?" tanya yang lebih muda.
"Karena balok disini nggak ada pasangannya, makanya di namain Taman Jomblo."
"Gue kira ada mitos legendanya." Ghaisan mengeluh kecewa, padahal sudah antusias dari awal.
Karendy menggeleng, "Nggak ada mitos-mitos, jaman sekarang lo masih percaya sama mitos begituan?" tanyanya, meneguk air mineral dari botol.
Ghaisan mengangguk, "Lumayan, soalnya gue suka sama hal-hal yang berbau mistis."
"Bohong, lo sama kecoa aja takut!" Naufal mencibir.
"Itu kan kecoa, bukan hantu!" yang mudah tak ingin kalah.
"Tapi kalau ketemu sama hantu, pasti lo takut?" Karendy ikut-ikutan.
Ghaisan mengangguk, "Iya juga, ya? Tapi kan gue suka ceritanya doang, kayak mendebarkan jantung gitu." Ia tergelak.
"Drama banget, pake mendebarkan segala." Naufal menggelengkan kepala, sebelum akhirnya meneguk tiga tegukan air mineral dari botolnya.
"Balik yuk, bentar lagi magrib." Taruna berasma Abidin di belakangnya itu beranjak, menepuk bokongnya yang kotor.
Ghaisan dan Karendy mengangguk, berjalan meninggalkan taman dan seluruh aktivitas para kawula muda yang berselancar di papan luncur.
Ketiganya berjalan diatas trotoar, perbincangan pun tak berhenti di taman jomblo. Mereka berjalan sesekali tergelak. Sampai ketiganya bertemu dengan penjual martabak yang selalu menjadi makanan favorit bagi mereka. Kali ini Karendy membeli martabak red velvet dan rasa cokelat keju. Satu lagi untuk nanti nongkrong di warung Mang Ajja setelah shalat isya sambil main gitar dengan anak-anak rt 03.
"Senja cantik banget kayak Tata."
Karendy dan Ghaisan menoleh pada Naufal yang menatap semburat oranye. Bisa ditebak, mungkin saat ini candra menertawakan laki-laki bersuarai hitam dengan hoodie hitamnya.
"Senja emang indah, dia juga punya cara yang manis buat berpamitan." Ghaisan berceletuk setelahnya.
"Tapi yang namanya perpisahan, nggak ada yang manis. Kecuali martabak ini," imbuh Karendy menunjuk pada dua kotak martabak.
Naufal mengangguk, "Iya, katanya perpisahan seperti senja itu paling indah. Siapa sih yang menobatkan itu? Mana ada perpisahan yang manis?!" katanya bersungut-sungut, seolah ingin menerkam sosok pengarang kalimat tentang senja.
"Jian nggak tahu, kalau nggak percaya tanya aja sama Pak Haji." Ghaisan menepuk-nepuk pundak Naufal dan mendapati kekehan dari Karendy.
"Iya, ya, bener juga." Naufal berkata, sesekali ia menyipit kala maniknya berkontak dengan silau oranye di atas sana.
Karendy menoleh, "Apanya yang bener? Pak Haji?" tanyanya.
Terdengar helaan napasnya yang berat, seolah ada yang mengganjal saat ia menghembuskannya. Sebelum akhirnya Naufal tersenyum tipis pada dua orang di kanan kirinya. "Di dunia ini nggak ada yang abadi. Perihal senja yang akan pergi setelah memberikan keindahan, perihal malam yang akan tenggelam setelah memberikan gugusan bintang. Semuanya bakalan pergi kalau udah pada waktunya."
Sejenak ketiganya bergeming, memberi ruang untuk bising kendaraan dari sekitar. Tak tahu harus apa, tak tahu harus bagaimana dan berbuat apa setelahnya.
Hingga pada akhirnya sebuah tepukan dari Karendy menyadarkan Naufal. "Sadar nggak? Perihal sendiri dan menyendiri, itu memang udah mutlak. Suatu hal yang wajar, kenapa? Kita lahir ke dunia sendirian, mati juga nggak ngajak orang lain. Dan kalau misalnya ngerasa kesepian waktu orang-orang di sekeliling kita pada pergi, kita harusnya nggak usah merasa asing. Harusnya kita terbiasa dengan kesendirian."
Naufal hanya menatap arah kakinya kemana berjalan, enggan untuk bersuara lagi. Telak karena pernyataan Karendy memang ada benarnya. Patutnya ia harus terbiasa dengan sendiri dan sepi.
"Abang?"
Naufal dan Karendy menoleh pada Ghaisan yang sedari tadi diam. Tanpa mengelurkan sepatah kata, mereka menunggu perkataan selanjutnya dari laki-laki bersurai cokelat itu.
"Kalau suatu saat kita berpisah, gimana?"
Pertanyaan mutlak. Sama mutlaknya seperti yang dikatakan kedua pemuda di samping kiri Ghaisan. Keduanya bergeming, enggan menjawab. Karena mereka tahu, sulit untuk tidak membicarakan tentang perpisahan. Meskipun itu adiwarna seperti senja atau gugusan bintang, setiap perpisahan akan membekas menjadi luka.
Sore itu dibalik semburat oranye, baskara mungkin bersembunyi menatap pilu ketiga anak manusia yang tak menginginkan adanya perpisahan. Tak ada yang tahu laju arus kehidupan seperti apa, tak tahu beberapa tahun ke depan mereka akan menjadi apa. Ketiganya hanya bergeming, meminta jika memang seharusnya ada perpisahan. Maka di kehidupan selanjutnya, mereka ingin meminta untuk bisa dipertemukan kembali. Tanpa adanya perpisahan lagi.
---- ephemeral ----
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral | Park Jisung
Fanfiction❝ perihal sesuatu yang tidak akan abadi. perihal yang singgah belum tentu akan menetap ❞ - Ephmeral, 2021. ©riayndrr, 2021. cover by Pinterest