ALEX
Aku kembali ke kantor pukul 15.30. Langkahku melambat ketika melewati pintu ruangan Linda yang terbuka lebar. Ia tidak terlihat ada di dalam. Mejanya telah tertata rapi dan tas pinknya tidak ada di atas meja. Linda adalah penyuka warna pink hampir semua benda yang ia punyai berwarna pink, bahkan ponselnya pun dicarikan cover pink untuk membungkusnya. Lebih tepat namanya pinky daripada Linda.
"Bu Linda sudah keluar lima belas menit yang lalu, Pak. Katanya ada urusan mendadak. Tetapi kalau dilihat aura wajahnya, sepertinya Bu Linda sedang sedih, Pak. Sedihnya sejak keluar mendadak terima telepon tadi. Masuk ke ruangan ngucek-ngucek mata." Seorang staf perempuan yang masih sangat muda berbicara kepadaku karena melihatku terhenti di depan ruangan Linda. Namanya Sandra.
"Ah, sok tahu kamu kalau Bu Linda sedang sedih. Jangan ngarang."
"Kelihatan sih pak. Kalau saya terawang lagi... kayaknya...."
"Stop, nggak usah seperti Mbak You yang suka menerawang itu. Kalau dia dapat honor, kalau kamu malah nambahin dosa."
"Hehe... iya pak. Saya permisi dulu." Sandra segera berlalu dari hadapanku dengan wajah tertunduk.
Aku segera duduk di ruangan dan mengecek dokumen yang tadi kutinggalkan untuk mengikuti rapat.
Belum genap sepuluh menit aku menekuni pekerjaanku, suara ponsel menyita perhatianku.
Sebuah nomor asing tertera di sana.
"Hallo."
Hai Alex, aku Diana.
Wow... gerak cepat sekali Diana ini. Beberapa menit yang lalu kami bertemu di Bappeda ketika rapat. Diana merupakan salah satu Tim Konsultan yang menangani tentang Desa Mandiri Agropolitan yang dipaparkan di Bappeda tadi. Kami memang telah saling mengenal karena ia adalah teman kuliahku dulu. Berdalih hendak mencari data yang lebih detil tentang bidang pertanian, ia meminta nomor teleponku tadi. Hanya saja aku tidak menduga akan secepat ini ia menghubungiku. Hem... belum ada setengah jam kan?
"Oh iya Di. Bagaimana?"
Aku perlu data tentang potensi dan luas lahan untuk tanaman pangan jenis serealia, per kecamatan. Kalau ada malah per desa. Juga jumlah masyarakat yang bekerja di sektor itu. Kemudian juga ada beberapa hal yang harus aku diskusikan sama kamu.
"Ah ya, kamu perlu kapan datanya?"
Secepatnya ya Lex. Kalau nanti malam ketemu bagaimana?
"Jam kantor aja deh. Besok masih sempat kan? Malam ini aku ada janji dengan anakku."
Oh iya. Aku ingat dengan anakmu yang ganteng itu ya. Aku lihat di foto profil kamu di FB.
"Iya."
Eh, ketemu barengan anakmu juga nggak apa-apa. Aku nggak keberatan kok. Sekalian reuni gitu. Kita kan sudah lama nggak ketemu. Lagipula kamu nggak pernah ikut acara reuni ya, jadinya ketinggalan berita-berita terkini.
Bukan kamu yang keberatan, aku yang keberatan. Tentu saja kata-kata itu tidak akan keluar dari mulutku. Bagaimanapun aku harus menjaga kemanisan kata-kata yang keluar dari mulutku. Anakku pasti protes kalau aku punya acara sendiri. Malam ini aku berjanji hendak menemaninya mencari mainan, sebagai hadiah karena rajin mengerjakan tugas yang diberikan ibu gurunya.
Lagian siapa yang tertarik mengikuti acara reuni? Bagiku acara reuni kampus hanya sebagai ajang pamer ini dan itu. Aku memang masih akrab dengan beberapa teman SMA. Kami masih sering bertemu, tetapi kami benar-benar akrab. Jadi tidak canggung membicarakan berbagai hal. Satu lagi, mereka laki-laki. Untuk apa aku reuni dengan Diana? Iya sih, dia mantan pacarku, tetapi hubungan kami sudah lama berakhir. Berakhirnya juga dengan baik-baik, menurutku tidak menyisakan permasalahan yang mengganjal. Kecuali jika mungkin, Diana masih menyisakan perasaan yang mengganjal. Siapa tahu?
"Besok saja ya Di. Kutunggu di kantor. Jam delapan tepat."
Ya. Aku besok ke kantormu jam delapan pagi.
Ada nada kecewa dari suaranya.
Semakin lama, sepertinya aku menjadi agak trauma jika berdekatan dengan makhluk yang berjenis kelamin perempuan. Aku merasa risih dengan sikap mereka. Kalau dikasih sedikit harapan, mereka menempel seperti perangko, susah lepasnya.
Beberapa dari mereka melabeliku dengan sebutan hot daddy. Agaknya label itu seperti label harga sebuah produk yang menempel di wajahku. Mereka akan menatapku dengan pandangan aneh. Lalu seperti magnet, mereka akan mendekat kepadaku.
Bukannya geer, tetapi kenyataan. Wajahku ini cukup tampan kok. Badanku juga proporsional. Dan yang paling menarik bagi mereka adalah statusku, duda. Apakah status itu lebih menarik dibandingkan dengan status bujang bagi seorang perempuan?
Aku kembali meraih ponsel di atas meja kerja yang berdering. Nama Ibu Negara tertera di sana. Sebelum kuangkat, lebih baik aku menarik naas dalam-dalam. Kata-katanya bisa saja membuatku kehilangan nafas.
"Hallo Bu."
Lex, kamu sudah lupa dengan ibu? Berapa minggu kamu nggak ke rumah? Ibu juga kangen lho sama cucu ibu yang ganteng itu. Apa kamu sudah kaya ya, jadi lupa sama ibu, nggak mau lagi mampir ke rumah?
"Ibu ngomong apa sih? Akhir-akhir ini kami nggak kemana-mana, Bu. Nggak berani keluar karena kecamatan kami masuk dalam zona merah. Kami juga nggak mau kalau malah nanti kami bawa penyakit ke rumah ibu. Ibu sendiri tahu keadaan Bapak, nggak dalam kondisi fit."
Dua minggu sekali aku dan anakku mengunjungi orangtua untuk menjaga kedekatan antara nenek kakek dan cucunya. Walaupun orangtuaku sudah mempunyai empat orang cucu, tetapi anakku adalah cucu laki-laki satu-satunya. Tak heran jika kedua orang tuaku terlihat lebih menyayanginya.
Namun, belakangan ini kami menghindari keluar rumah karena wabah Covid-19 semakin menjadi-jadi. Kecamatan di tempak kediamanku termasuk ke dalam zona merah. Walaupun kami terlihat sehat, tetapi kami tidak mau menjadi OTG (Orang Tanpa Gejala) yang membawa penyakit bagi orang-orang di sekitar kami. Terutama kedua orang tuaku yang sudah lanjut usia. Mereka lebih rentan terkena penyakit ini.
Ya sudah, kapan kamu mau datang?
"Malam Sabtu besok bu. Kami menginap sampai Minggu. Dengan catatan, Kecamatan kami sudah lolos dari zona merah."
Nggak usah ngajak Bianca. Kamu mau Ibu kenalkan dengan anaknya teman ibu. Kalau kamu datang sama Bianca, nggak bakal berhasil.
"Yah, lihat besok deh bu. Bisa tidak bu, acara perjodohannya ditunda dulu karena sedang pandemi Covid?"
Eh, kamu ini menunda-nunda. Pandeminya nggak tahu kapan selesainya. Kamu keburu tua. Kamu kalau dibilangin ibu nggak percaya. Mending kamu tinggal di sini aja sama ibu.
"Ibu ngomong apa lagi sih? Sudah, pokoknya ibu tunggu saja di rumah."
Rencana perjodohan ibu tampaknya lebih utama daripada perasaan kangennya terhadap cucunya. Aku jadi malas pulang ke rumah ibu. Tiga tahun belakangan Ibu sangat ingin aku mempunyai pendamping hidup lagi. Enam tahun sudah aku tidak mempunyai pendamping hidup. Namun, kurasa aku baik-baik saja.
Tidak hanya ibuku, orang-orang di sekelilingku juga berusaha mencarikan aku jodoh. Dengan cara yang terlihat jelas maupun dengan cara yang halus. Padahal aku baik-baik saja tanpa pendamping hidup.
Pernikahan bukan lagi menjadi prioritasku saat ini. Pengalaman membuktikan, pernikahan itu ... tidak membahagiakan ketika cinta tidak lagi hadir di sana. Ketika terikat pernikahan, tetapi hatimu tidak ada di sana, maka kehidupanmu akan terasa berat.

KAMU SEDANG MEMBACA
ADIK IPARKU RASA GEBETANKU
RomansaAlex terjebak dalam kehidupannya pasca pernikahan impiannya berakhir. Pernikahan yang menyebabkan adanya konsekuensi yang harus ia tanggung dalam hidup. Sejak sang istri meninggalkannya, satu demi satu persoalan harus diselesaikannya. Mampukan ia be...