Ep 3 : Hate Comments

1.2K 151 1
                                    


Back song recommendation: Queen – It's A Hard Life


Lagu barunya tidak sebagus dulu

Ya! Kalian para haters diam saja, kalau tidak suka kenapa didengarkan?

Mark Oppa, semangat!

Biasa saja ah, kenapa orang ini bisa terkenal sekali sih?

Aku muak sekali melihat wajahnya ada dimana-mana. Apa standar orang-orang jaman sekarang serendah ini?

Hey, kamu kapan mati? Pensiun saja lah setidaknya.

Oppa, kamu yang terbaik. Jangan dengarkan mereka, oke?

Baru saja satu minggu berlalu sejak Mark mengeluarkan album barunya. Dia meraih prestasi yang luar biasa, memecahkan rekor sana sini, dan lainnya. Selama hampir 7 tahun berkarir di industri ini, Mark belum pernah jatuh sekalipun. Tapi memang sudah seperti satu paket yang tidak bisa dipisahkan, semakin terkenal seseorang maka akan semakin banyak pula yang berusaha menggulingkannya.

Walaupun sudah berhasil bertahan sejauh ini, Mark tetap merasa terganggu dengan komentar negatif. Ya, sekuat apapun seseorang dilempari batu, pasti ada kalanya juga mereka merasa kesakitan bukan? Padahal dia selalu mengerahkan yang terbaik dalam pekerjaannya, namun semakin banyak saja orang-orang yang menutup mata akan hal tersebut.

Mereka menganggap bahwa seluruh prestasinya sekarang hanya berkat banyaknya jumlah penggemarnya, bukan atas usaha dan kualitasnya.

"Mark, ayo. Rehearsal sebentar lagi dimulai," panggil manajernya dari pintu ruang tunggu sang idola yang sedang kecanduan membaca komentar dari ponselnya. Dengan suasana hati yang sudah terlanjur jelek, Mark tetap harus bersikap profesional dan menjalankan seluruh jadwal promosinya sambil tersenyum.

.

.

.

Hari sudah gelap, sang idola bahkan tidak bisa tertidur di dalam mobil yang sedang membawanya kembali ke tempat tinggalnya. Dia sama sekali tidak merasa mengantuk, pikirannya bergerilya kemana-mana, komentar buruk terus menghantuinya walaupun dia sudah berusaha untuk tidak mempedulikannya. Mark terus berpikir, apa lagi yang harus dia lakukan agar komentar-komentar negatif itu tidak lagi memenuhi setiap artikel mengenai dirinya. Padahal masih lebih banyak komentar positif, tapi kenapa yang dia pikirkan hanya yang negatif? Tidak ada solusinya memang, hal tersebut selalu berhasil memicu depresi seorang Mark Lee.

Mobilnya sudah sampai di depan gedung kondominium miliknya. Dilihatnya ada sekitar tujuh hingga sepuluh orang asing setia menunggunya pulang di sana. Sasaeng Fans adalah sebutan mereka. Mark mendecak kesal melihat orang-orang itu tidak juga kapok menguntitnya setiap hari, dia menggaruk kepalanya kasar sebelum memukul bantal tak bersalah di sebelahnya.

.

.

.

Idola itu akhirnya tiba di dalam ruangannya. Ia melepas sepatunya dan melempar tasnya ke sembarang tempat, kemudian melempar dirinya sendiri ke atas ranjang luas miliknya. Ranjang kualitas terbaik yang nyatanya masih kalah nyaman dengan ranjang reyot milik sahabatnya bagi Mark.

Cahaya dari layar ponselnya adalah satu-satunya yang meneranginya, Mark tidak menyalakan lampu kamarnya sama sekali. Ingin mendalami suasana hatinya saat itu, pikirnya. Dilihatnya jam sudah menunjuk pukul 1 AM, tapi matanya tidak kunjung terasa mengantuk. Padahal dia harus berangkat lagi jam 8 AM nanti untuk jadwalnya, sayang sekali insomnia-nya masih setia menemaninya.

Diliriknya sebotol obat tidur yang terletak di atas nakas sebelah ranjangnya. Sebelum sempat meraih botol itu, ia segera teringat omelan sahabatnya dulu saat pertama kali mengetahui kalau dirinya mengonsumsi obat-obatan hanya untuk tidur. Hal tersebut membuatnya tertawa, wajah marah Donghyuck hari itu lucu sekali. Tapi berkat itu pula dia jadi tidak bergantung pada obat-obatannya lagi.

Jarinya secara otomatis membuka daftar kontak pada ponselnya, Mark ingin segera menekan satu nama yang sudah tertera di sana. Nama yang selalu menjadi alasan di balik sejuta senyuman Mark Lee.

Hyuckie

Tapi niatnya menghubungi sahabatnya itu segera lenyap begitu ia menyadari bahwa jam sudah menunjuk pukul 2 AM. Dia tidak ingin mengganggu tidur sahabatnya itu. Mark pun melepas pandangannya dari layar ponselnya dan kini hanya telentang di atas kasur sambil menatap kosong mengarah langit-langit kamarnya.

"Lee Donghyuck. Kenapa hari ini kau harus ada acara makan malam kantor? Aku sedang merasa hancur sekali," ujarnya pada ruangan yang tidak ada siapapun selain dirinya itu. Ia merasa harinya hancur dengan sempurna karena tidak bisa menghubungi sahabatnya seharian, karena Donghyuck kebetulan juga sedang sangat sibuk hari ini.

Mark kembali memasang mode pesawat pada ponselnya, pasalnya dia selalu mendapatkan panggilan dan pesan dari penggemarnya. Tidak peduli jam berapa pun itu, hidupnya selalu diteror sesering apapun dia mengganti nomornya.

Bukannya tidak pernah, bahkan akhir-akhir ini Mark semakin sering memikirkan tentang masa depannya. Tentang haruskah dia melanjutkan karir yang perlahan menelan jati dirinya secara total? Tapi bagaimana dengan rasa cintanya pada musik? Dia memang sudah bisa dibilang telah memiliki semuanya, tapi pada dasarnya manusia itu egois dan selalu menginginkan lebih.

Intinya Mark ingin bebas seperti dulu.

KRIIING ... KRIIING ...

Pemuda yang sedang merenung itu tersentak kala suara nyaring tersebut tiba-tiba berbunyi, ia mencari sumber suara yang terus berdering itu. Dibukanya laci di samping ranjangnya, menampakkan sebuah ponsel tua yang menyala. Mark memiliki 1 ponsel kuno, ponsel yang tidak bisa terhubung ke internet agar tidak ada yang bisa melacaknya sembarangan.

Haechan

Sebuah nama yang asing bagi semua orang kecuali Mark tertera di layar ponsel kecil itu. Bibirnya seperti ditarik dari kuping ke kuping, tanpa berpikir panjang Mark langsung mengangkat panggilan tersebut.

"Oh? Kupikir sudah tidur," ujar sang penelpon dengan suara yang di luar dugaan terdengar masih sangat segar di jam yang dini ini.

"Kupikir kau juga sudah tidur," jawab Mark sambil tersenyum.

"Aku baru bangun, tadi terlalu mabuk jadi ketiduran di sofa. Terus karena bau alkohol di seluruh tubuh, aku bangun untuk mandi. Tidak bisa tidur lagi karena kena air."

Mark menyimak, menunggu sang lawan bicara melanjutkan percakapannya.

"Hm ... temani aku mengobrol?" tanya orang itu ragu.

"Aku akan segera ke sana," lanjut Mark.

"Hah? Bukan, maksudku dari telpon saja sampai kita mengantuk."

"Aku ingin menemuimu, Hyuck," ujar Mark dengan cepat. Ia berdeham kecil, menyadari suaranya yang terlalu semangat. "Boleh?"

"Ya ... boleh saja."



TBC

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TBC

BEST FRIEND? | MarkHyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang