Part 3

1.3K 139 4
                                    

Hidup memang tak adil. Banyak orang yang hidup selalu bahagia, namun tidak sedikit yang hidupnya selalu dipenuhi duka dan kesedihan. Banyak orang selalu hidup mewah, selalu miskin, atau mungkin dari miskin tiba-tiba kaya bahkan dari yang tadinya kaya raya mendadak jadi miskin.

Begitu juga dengan hidupku. Alur hidupku selalu penuh liku dan penderitaan. Sejak kecil ditinggal kedua orangtua, menderita, terlunta-lunta dan dihina banyak orang. Saat kurasakan kebahagiaan bersama keluarga yang walaupun bukan keluarga kandungku, seseorang merebut semuanya dariku. Merebut Jeno dariku.

Aku membuka mata karena secercah cahaya yang masuk melalui celah tirai di jendela kamarku sangat menyilaukan. Aku heran, kenapa aku masih ada disini? Apa ini artinya aku masih hidup? Aku benci kata-kata ini. Aku masih hidup. Kenapa aku tidak mati saja saat itu, pasti semuanya akan beres. Aku tidak akan lagi merasakan sakit dan merasakan kehilangan. Kenapa Tuhan begitu tidak adil padaku?

Aku mencoba untuk menggerakkan tangan kananku untuk menyibakkan selimut yang menutupi tubuhku, tapi kurasakan sekujur tubuhku nyeri dan ngilu. Rasa sakit di tubuhku sangat dahsyat sehingga aku langsung mengerang kesakitan. Namun, sebisa mungkin aku mencoba menahan eranganku, karena pasti paman dan bibi akan sangat khawatir jika mengetahuinya.

"Aish, kenapa aku tidak mati saja? Sekarang, menggerakkan tangan saja, semuanya terasa sakit. Apa yang bisa aku lakukan sekarang?" aku berucap lirih sambil meringis kesakitan.

KREK

Pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok paman dan bibi yang terlihat khawatir. Paman berjalan di depan sedangkan bibi di belakangnya membawakan nampan yang berisi makanan dan obat. Aku tak tahu, apa yang harus katakan pada kedua orangtua yang sudah sangat kusayangi ini. Mereka benar-benar seperti malaikat bagiku.

"Jaemin-ah, kau sudah siuman?" bibi duduk di tepi ranjang tempatku terbaring sedang paman duduk di kursi di sebelah meja kecil tempat aku dan Jeno biasanya meletakkan beberapa aksesori seperti jam tangan, dll.

Kutahan rasa sakitku dan aku mencoba tersenyum,"Ne eomma. Nan gwaenchana."

Bibi memang memaksaku memanggilnya eomma. Sejak pertama kali bertemu, bibi meyakinkanku bahwa ia akan berusaha meyayangiku seperti anaknya sendiri. Walaupun beliau bukan ibu kandungku, aku tak keberatan untuk memanggilnya eomma. Karena dia lebih seperti eomma kandungku sendiri jika dibandingkan dengan eommaku yang sudah meninggal.

"Jaemin-ah, apa yang sebenarnya terjadi?" paman mengerutkan alis dan keningnya ketika beliau mencoba mengorek keterangan dari mulutku.

"Appa, tidak ada apa-apa," sekali lagi aku tersenyum menjawab pertanyaan paman.

"Apa kau yakin? Apakah ini semua bukan ulah Mr. Huang?" paman kembali bertanya, sepertinya beliau belum bisa percaya pada apa yang barusan kukatakan.

"Benar appa."

"Lalu siapa mereka?"

"Mereka hanya preman biasa appa."

Aku tidak ingin paman dan bibi khawatir. Itu saja. Itulah sebabnya aku tidak jujur kepada paman. Aku tidak tahu apa yang bisa terjadi apabila aku jujur pada paman tentang hal ini. Cukup aku yang tahu tentang masalah ini. Dan cukup aku yang terluka karena ini semua.

Ternyata, usut punya usut, paman menemukan tubuhku yang tergeletak tidak berdaya di dekat apartemen kami setelah beliau mendengar keributan besar. Tentu saja paman sangat shock saat mengetahui bahwa tubuh yang berlumuran darah itu aku. Dengan sekuat tenaga, paman menggendongku ke dalam apartemen dan menidurkanku di tempat tidur yang kutiduri sekarang. Awalnya, paman ingin membawaku ke rumah sakit, namun karena aku terus-terusan mengigau menyebutkan nama Jeno, akhirnya paman mengurungkan niatnya.

I Told You I Wanna Die (Nomin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang