Rumah sakit, lagi-lagi aku terbaring dan terdaftar sebagai pasien salah satu rumah sakit di Seoul. Akan tetapi, beruntunglah karena kali ini aku menemukan Jaemin tengah tertidur di sofá dengan tenangnya. Aku tersenyum dan entah sudah berapa kali aku tersenyum bahagia sejak aku kembali bertemu dengannya.
“Lihat kan, dia sudah siuman?” Mark Hyung yang ternyata duduk di kursi samping tempat tidur mengagetkanku.
“Mark Hyung, kenapa kau ada di sini?”
“Mwo? Yah, aku yang menelepon ambulans dan menyelamatkanmu dari bos mafia terkutuk itu tau! Bukannya berterima kasih malah bertanya hal aneh seperti itu padaku, dasar kau!”
“Hyung, sabar sedikit. Jeno kan sedang sakit,” pria manis yang merupakan kekasih seniorku berusaha menenangkan pria dewasa yang manyun.
“Mianhae, geurigo gomawo karena telah datang tepat waktu,” ucapku tulus membuatnya agak melunak dan menepuk pundakku pelan,”Begitu baru benar.”
“Dasar sunbae gila pujian,” aku berucap lirih namun pendengaran Mark yang super tajam itu menangkap perkataanku barusan membuatnya menjewer telingaku,”Dasar bocah nakal!”
“Ampun ampun komandan, sumpah aku hanya bercanda,” rengekku membuat Mark mengendurkan jewerannya dan mendengus kesal.
Jaemin terbangun mendengar keributan yang kami buat. Dia mengucek pelan kelopak matanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat kami bertiga berada. Dia kelihatan lebih baik dari terakhir kali aku melihatnya. Setidaknya air matanya sudah tidak ada lagi.
“Oh, kau sudah sadar Jeno-ya?” dia mendekat ke arahku dan seperti sebuah sinyal Mark dan kekasihnya izin keluar meninggalkan kami berdua. Pemuda yang kutemui sejak aku berumur enam tahun itu menempati tempat duduk yang tadinya digunakan oleh Mark Hyung. Dia mengulurkan tangannya ke arah perban yang membalut tubuhku, terutama bagian dada,”Apa ini sakit?”
Aku menggeleng pelan,”Jangan bohong Jeno-ya! Mana yang sakit?” aku mengenggam tangannya dan membimbingnya ke dada bagian kiriku seolah menggambarkan jantung hatiku yang sakit. Wajahnya memerah karena aku masih belum melepaskan tangannya. Kami berdiam di posisi ini agak lama sebelum akhirnya aku menghela napas panjang dan berkata,”Mianhae Jaemin-ah. Jeongmal mianhae.”
Mata indahnya menatapku tak percaya,”Untuk apa Jeno-ya? Kau tidak perlu meminta maaf padaku. Kau tidak pernah melakukan kesalahan apapun padaku.”
“Tidak,” aku menggelengkan kepalaku menyadari bahwa aku telah banyak melakukan kesalahan padanya,”Aku telah melukaimu. Aku membuatmu menangis dan aku baru sadar betapa bodohnya aku setelah kau menghilang.”
“Jeno-ya berhentilah mengatakan hal yang aneh seperti ini,” dia mencoba menarik tangannya tapi aku justru mengeratkannya dengan menambahkan tanganku yang satunya ke atas tumpukan tangan kami.
“Na Jaemin, dengarkan aku. Selama empat tahun aku mencarimu, tapi aku tidak menemukan satu petunjuk pun tentangmu. Kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain berharap suatu hari kami dapat berjumpa denganmu hingga akhirnya kami memutuskan untuk menetap di Seoul sambil terus mencarimu,” kutarik napasku menghentikan sementara perkataanku,”Jaemin-ah, kau tahu bagaimana rasanya hidup tanpamu? Hampa. Aku seperti mayat hidup, bahkan Mark Hyung selalu memarahiku karena katanya aku tidak berekspresi sama sekali,” aku tertawa kecil mengingat kejadian saat seniorku itu memarahiku karena aku tidak bisa diajak bercanda sama sekali.
Karena Jaemin masih tenang dan sudah agak rileks, kuputuskan untuk melanjutkan,”Na Jaemin, saranghae.”
“Jeno-ya hentikan candaan konyolmu ini!” sepersekian detik air muka Jaemin menunjukkan keterkejutan. Tetapi dia segera menguasai dirinya kemudian menarik paksa tangannya. Hm, aku tahu dia kuat dan bahkan terkadang lebih kuat dariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Told You I Wanna Die (Nomin)
FanfictionAku, Na Jaemin, benar-benar membencimu Lee Jeno. Rasa cintaku padamu membuatku rela melakukan semua perbuatan gila bersamamu, tapi kau tak pernah sedikit pun melihatku. Aku muak dengan semuanya. Biarkan aku mati dengan tenang. Kuremas kaos yang kupa...