"Mila WA aku, kamu berencana poligami, Kak?"
Kali ini Ilham benar-benar sudah duduk dalam posisi tegak. Matanya melebar saking kagetnya dengan pertanyaan Airin barusan. Bagaimana mungkin Airin bisa berpikir ia akan berpoligami? Mungkin ia saat ini perasaannya terhadap Mila masih tertinggal. Namun, menikahi dua wanita dalam satu waktu bukanlah pilihan hidupnya. Lagian kenapa Mila harus mengirimkan pesan random begitu untuk Airin. Wanita ini pasti sudah berpikir yang bukan-bukan lagi terhadapnya.
"Kakak tidak akan pernah berpoligami, Ay," tegas Ilham yakin.
"Terus? Kamu akan meninggalkanku untuk bisa bersama Mila tanpa berpoligami?"
Apalagi ini? Pertanyaan yang diajukan Airin semakin membuatnya kesulitan menjawab. Ia tidak menyangka Airin akan mendesaknya dengan pertanyaan seperti ini.
"Ay, ak-aku...,"
"Jika memang itu pilihan terbaik dan kamu bahagia, aku ikhlas kak. Semoga kamu tetap menyayangi anak ini nanti meskipun kita harus berpisah," ucap Airin sambil berlinangan air mata. Dengan langkah gontai ia bangkit dari duduknya dan berjalan menjauh dari Ilham yang tidak lagi bersuara. Bahkan ketika langkahnya sudah semakin jauh, Airin menyadari bahwa Ilham tidak berusaha mengejarnya.
"Mungkin memang iya, kasih sayang Kak Ilham untukku selamanya hanya sebatas adik, tidak untuk jadi istri," cicit Airin begitu tubuhnya berada di balik pintu kamar. Tubuhnya meluruh ke lantai dengan bersimbah air mata. Ia mengelus lembut perutnya seolah menguatkan calon anak yang sedang dikandungnya.
"Jangan sedih, Nak. Ada ibu disini, kita akan selalu bersama. Ibu sayang kamu, sangat," ungkapnya pilu.
Airin tahu dan sadar bagaimana dulu Ilham sangat mencintai Mila. Saat Mila pergi dalam hidupnya, Airin melihat sendiri bagaimana hancurnya Ilham kalau itu. Airin adalah saksi bagaimana pria itu mengorbankan banyak hal untuk kebahagian Mila.
Ketika mengetahui jika Mila kembali dan sikap suaminya berubah, sontak membuat Airin ketakutan. Ia yang menyangka jika saat itu kebahagiaannya sudah lengkap dengan kehadiran Ilham sebagai suami yang pengertian, juga calon anak yang akan lahir menambah kesempurnaan hidupnya. Namun sekarang, Airin mulai goyah. Ia takut Ilham akan pergi dan memilih bersama wanita yang dicintainya. Siapalah dirinya? Hanya sekarang gadis yang selama ini hanya dianggap adik oleh Ilham, lalu mereka disatukan dalam ikatan perjodohan. Sangat tidak mungkin Ilham akan memilih mempertahankan dirinya dan meninggalkan wanita yang dicintainya. Sangat mungkin jika mereka akan kembali bersama dan meninggalkan dirinya yang tidak penting dalam hidup mereka.
"Tapi aku takut, Mas. Aku terlanjur mencintaimu dan aku khawatir tidak bisa hidup dengan baik jika tanpa dirimu," ucap Airin pada dirinya sendiri.
Hari-hari berikutnya ibarat neraka bagi rumah tangga Ilham. Istrinya benar-benar mendiamkan dirinya dalam artian yang sebenarnya. Bahkan wanita itu memilih kamar tamu sebagai tempat istirahatnya. Sebisa mungkin ia menghindari pertemuan dengan Ilham di rumah. Jika biasanya Airin akan tetap menyiapkan keperluan Ilham meskipun sedang maka kali ini ia tidak melakukannya lagi.
"Airin, bisa kita bertemu?" Sebuah pesan masuk ke HP milik Airin ketika wanita itu sedang membaca di kamarnya. Mila mengajaknya untuk bertemu. Jantung Airin seperti diremas membaca pesan dari mantan kekasih suaminya itu. Bagaimana bisa wanita itu begitu berani menghubunginya? Belum puaskah ia membuat keadaan rumah tangganya jadi seberantakan sekarang?
Dengan tangan bergetar ia mengambil gawainya dan mengetikkan balasan. "Ada apa? Keadaan saya sedang tidak sehat untuk bepergian ke luar dalam keadaan hamil. Jadi katakan saja tujuan anda," tulis Airin to the point. Airin tidak mau mengambil resiko menjadi lebih stress dan mengganggu kandungannya jika memaksa bertemu Mila. Ia tahu jika pertemuan mereka nanti tidak akan berlangsung damai sebagaimana sebuah pertemuan lazimnya.
"Aku sudah di depan rumahmu, bisakah kau hanya membuka pintu dan kita bicara?" balas Mila tidak terduga.
Tergesa, Airin mendekat ke pintu depan dan mengintip lewat jendela. Benar saja, Mila sedang berdiri di depan mobilnya dengan pandangan fokus ke HP di tangannya. Meskipun tidak rela, Airin tetap membuka pintu dan menemui wanita yang sedang menunggunya di luar.
"Ada apa?" tanya Airin tanpa bersusah payah meminta Mila masuk ke rumahnya.
Mila menolehkan pandangan dari HP nya, "Apa kabar, Airin?"
"Ada perlu apa?" desak Airin to the point.
"Kamu tidak berniat menyuruhku masuk?"
"Saya rasa anda bukan seseorang yang saya kenal apalagi teman untuk sebuah izin memasuki rumah saya, anda orang asing," tutur Airin penuh penekanan. Wanita itu tidak berusaha menyembunyikan ketidaksukaannya atas kehadiran Mila di rumah miliknya dan Ilham. Bukan tamu seperti ini yang ia harapkan mendatangi rumahnya. Apalagi di kondisi moodnya sedang kacau.
"Wow, kamu sarkas sekali. Padahal dulu kamu cuma bocah kecil yang selalu ngekor kemana pun Ilham pergi,"
Airin melirik tajam wanita yang sedang berdiri pongah di hadapannya. Menurutnya, Mila kali ini sudah keterlaluan. Dia bukan saja berniat memporak-porandakan rumah tangganya dengan Ilham, tapi juga menabuh genderang perang dengannya. Dengan kehamilan yang sedang dialaminya, mendadak telinga Airin jadi lebih sensitif lagi. Mukanya sudah memerah menahan marah.
"Mba Mila yang terhormat, anda tahu ini rumah siapa?" tanyanya ditekan sehalus mungkin. Sekuat tenaga Airin menahan mulutnya untuk tidak langsung mencaci. Selain karena ia tidak mau membuang energi percuma, wanita itu tidak ingin calon anaknya belajar kata-kata tidak baik yang keluar dari mulutnya.
"Rumah Ilham, yang seharusnya jadi rumahku jika saja anak supir kayak kamu tidak menjual dirinya untuk dinikahi kekasihku."
"Kekasih?" Kali ini Airin terkekeh sampai tubuhnya bergetar, merasa lucu dengan apa yang didengarnya.
"Iyalah. Kamu harusnya paling tahu bagaimana kami saling mencintai dulu....,"
"Nah, iya. D, u, l, u." potong Airin penuh tekanan. "Karena aku paling mengenal suamiku, jadi aku tahu juga bagaimana dulu dia dibuang bagai sampah dan sekarang yang membuangnya datang seolah korban yang harus diselamatkan."
"Jika kamu pikir aku akan mengalah, tidak, Mba. Kamu jelas tahu jika aku adalah istri sahnya. Sejauh ini, belum pernah suami menceraikanku, jadi wajar jika aku merasa punya hak mempertahankan apa yang memang menjadi hak milikku. Kak Ilham itu suamiku dan ayah untuk calon anak kami," tutur Airin seraya mengelus dengan sengaja perutnya yang mulai menonjol dengan jelas. Suaranya terlihat lantang dan ada getaran emosi yang ia tahan sekuatnya.
Gimana? Suka part ini gak? Lagi rajin nih, jadi update lagi ya guys....
Semoga suka 💓
KAMU SEDANG MEMBACA
Seuntai Kata Cinta
RomanceCinta itu tak selalu harus di ungkapkan dengan kata-kata, tetapi jika tidak pernah mengungkapkannya sama sekali, apakah itu benar-benar cinta? Hal inilah yang membuat Airin bertanya-tanya tentang apa yang dirasa suaminya. Selama usia pernikahan mer...