Part 15. Abai

20 3 0
                                    

Sudah seminggu Airin mengabaikan Ilham. Meskipun Ilham kerapkali mengajaknya bicara, Airin tidak menggubrisnya sama sekali.

Entahlah, ia takut jika mereka bicara yang ada hanya pertengkaran yang akan terjadi. Airin lelah harus berdebat terus dengan suaminya. Berthaun-tahun selalu mendampingi Ilham, entah sebagai adik kecil, sekretaris hingga kemudian jadi istri, tidak pernah sekalipun Airin mengabaikan lelaki itu.

Hal ini juga yang kemudian membuat Ilham uring-uringan. Pekerjaannya tidak fokus dan sejak pagi sudah beberapa karyawan mengeluh karena kena damprat tanpa sebab yang jelas.

"Bos kenapa, sih? Mukanya gak enak banget," keluh Siska dengan muka kesal. Pasalnya tadi pagi, belum apa-apa dia sudah harus menyerahkan laporan yang deadline nya masih besok pagi. Setelah itu, Ilham lagi-lagi marah karena kurang suka dengan warna map yang di pakai. Padahal biasanya Ilham cuek pada hal-hal kecil seperti itu.

"Gak tau tuh, tadi anak magang juga abis di semprot. Kaget mereka," tambah Nina sambil mengangkat bahunya.

Sedangkan Ilham, dalam ruangannya berulang kali menyugar rambutnya. Selama mengenal Airin dalam hidupnya, wanita itu jarang marah lama-lama kepadanya. Airin akan senantiasa memaafkan Ilham begitu saja jika lelaki itu berbuat salah. Istrinya bukanlah wanita yang suka membesar-besarkan masalah. Jika ada hal kecil yang kurang berkenan di hatinya, ia akan berusaha mengabaikan.

Tidak seperti sekarang, Airin seperti tidak tersentuh. Moodnya benar-benar buruk untuk diajak bicara. Bahkan Airin seolah menganggap Ilham sebagai makhluk astral yang tidak tertangkap mata. Bagi Ilham ini seperti bencana, ia tidak bisa menebak Airin dalam mode seperti ini.

"Kamu kenapa, Ham?" Restu, salah satu sahabat dan juga rekan kerja Ilham bertanya ketika mereka sedang makan siang bersama.

"Airin marah," aku Ilham lesu.

"Loh, kenapa? Kalian terlihat harmonis-harmonis saja."

"Entahlah, aku bingung. Tidak biasanya Airin seperti ini."

"Bawaan hamil kali?" Restu masih mencoba menyakinkan.

"Aku tidak yakin. Selama ini, walaupun hamil, Airin tidak gampang moody-an seperti ini."

"Kamu buat salah apa?"

"Aku tidak yakin, tapi Mila menemuiku." Ilham mengusap waajahnya kasar. Dia bingung menghadapi suasana seperti ini.

"Kamu ladenin?" Restu mendelik antara kaget dan akhirnya paham letak permasalahannya.

"Ak-aku..., aku hanya merasa tidak punya alasan menolak pertemuan itu."

"Terus kamu ragu dengan perasaanmu sendiri?"

"Restu, aku..., "

Mimik wajah Restu berubah serius. Lelaki yang sudah bersahabat dengan Ilham sejak kuliah itu bahkan menegakkan posisi duduknya.

"Gak perlu dijelaskan, Ham. Tapi saran aku pikirkan baik-baik. Airin istri kamu, dia berhak atas perasaan yang kamu. Secinta apapun kamu sama Mila, dia masa lalu. Sesuatu yang sudah lewat dan sudah seharusnya kamu tinggalkan di masa lalu."

Ilham kehilangan kata-kata. Mulutnya terbuka lebar tapi tidak satu pun kata yang keluar.

"Semunya tergantung ketegasan kamu pada perasaan kamu sendiri. Yang harus kamu pahami, Airin itu wanita. Adakalanya dalam sebuah hubungan, meski perbuatan kita sudah sangat menunjukkan perasaan kita pada wanita, mereka tetap butuh pengakuan. Namun sebelum itu, pastiin perasaan kamu ke dia sudah tepat," imbuh Restu lagi seraya menepuk bahu Ilham pelan. Setelah itu, lelaki itu pergi meninggalkan Ilham yang sudah terdiam seribu bahasa.

Ingatannya melayang pada setiap waktu yang sudah dilalui bersama Mila. Wanita itu adalah orang yang pernah sangat dicintai di masa lalu. Mereka kenal sejak awal masuk SMA dan mulai menjalin hubungan serius saat tamat kuliah. Bahkan Ilham sudah berniat untuk melamarnya saat itu. Namun, tiba-tiba saja Mila menghilang begitu saja. Hanya satu pesan yang diterimanya kala itu. Mila menyuruhnya merelakan hubungan mereka dan mencari pengganti. Sejak hari itu hidup Ilham hancur, tidak disangkanya jika Mila tega meninggalkannya begitu saja tanpa penjelasan yang masuk akal.

Beberapa waktu lalu, Mila kembali muncul. Setelah pertemuan tidak sengaja di mall hari itu, Mila menghubunginya keesokan harinya.

"Aku minta maaf, Mas. Aku khilaf saat itu, kupikir ambisiku untuk mengejar mimpiku bisa kutukar dengan hubungan kita. Ternyata aku salah, sejauh apapun aku pergi, ingatanku selalu melayang padamu. Aku bahkan tidak bisa melirik lelaki lain sejenak pun. Kenangan yang sudah kita lalui bersama terlalu berharga untuk kulupakan begitu saja. Please, kasih aku kesempatan. Kita perbaiki semua ini dari awal lagi, ya?" jelas Mila dengan berurai air mata.

"Aku sudah menikah," ungkap Ilham.

"Aku tahu, tapi aku yakin kamu tidak mencintainya, kan? Selama bertahun-tahun kita bersama, kamu selalu mengatakan jika Airin itu adik kamu. Tidak mungkin kamu mencintainya, kan?"

Ilham tidak menjawab. Lelaki itu bangkit dan meninggalkan Mila yang tidak mendapat jawaban apa-apa.

"Aku akan berjuang mendapatkan hatimu kembali, Mas. Dengan cara apapun itu," teriak Mila sebelum akhirnya Ilham menghilang dari pandangannya.

Wanita itu membuktikan ucapannya dengan menghubungi Airin beberapa hari yang lalu. Jika saja ia tidak membaca pesan itu, Ilham tidak akan tahu jika Airin sudah ia kecewakan lagi. Kebingungan nya kini pasti sudah membuat Airin terluka.

Jadi wajar jika tadi pagi Airin bertanya tentang perpisahan kepadanya. Haruskah ia mengabulkan permintaan Airin untuk berpisah? Siapkah ia hidup dengan tanpa ada lagi Airin di sisinya? Benarkah Mila adalah wanita yang benar-benar ia cintai sepanjang hidupnya? Lalu bagaimana  hidup calon buah hatinya nanti jika Ia harus berpisah dengan Airin?

Ilham tidak punya jawaban atas semua tanya yang muncul di kepalanya. Yang ada kepalanya terasa panas dan ingin pecah. Seakan berton-ton beban berat dipindahkan ke atas kepalanya. Ilham frustasi hanya memikirkannya saja.

Lelaki itu mengambil tas kerjanya dan bergegas meninggalkan ruang kerjanya. Ia ingin pulang dan memastikan keadaan istrinya di rumah. Dengan kehamilannya yang masih sangat rentan, Ilham takut terjadi apa-apa pada Airin dan janinnya. Ia sangat tahu, Airin tidak boleh stress dan masalah ini pasti membuat pikirannya terbebani.

"Mas, bisa kita bicara?" Baru saja Ilham membuka pintu ruangannya, Mila muncul dihadapannya dengan raut yang tidak terbaca.

Bersambung...

Kira-kira kenapa ya Mila muncul di kantor Ilham?

Seuntai Kata CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang