Aku dan Alexandre memasuki gedung pernikahan Geri dengan bergandengan tangan. Aku memasuki gedung dengan langkah pasti nan percaya diri. Aku juga menebar senyum ke semua orang yang aku kenal di sini, karena sebagian teman Geri adalah temanku juga.
Sebenarnya gara-gara keusilan Alexandre tadi, kami jadi datang terlambat. Makanya aku tak melihat cecunguk itu ijab qobul. Sekarang sudah acara resepsi, sehingga semua tamu terlihat mengantre untuk bersalaman dengan kedua mempelai.
Sebab malas ikut mengantre, aku dan Alexandre memutuskan untuk duduk dulu di kursi yang tersedia—sembari menunggu antrean panjang bak dapat sembako gratis itu terurai.
Aku duduk bergabung dengan beberapa orang yang sudah aku kenal, sekalian bertukar kabar. Ya, walau kebanyakan isinya cuma basa basi super basi saja.
"Hai, babe! Siapa nih blasteran kece yang lo bawa hari ini? Lo tahu nggak sih, Win, betapa syoknya gue pas terima undangan nikahan dari Geri tapi nama cewek yang ada di undangan itu bukan lo? Sumpah gue langsung tercengang! Padahal gue tahunya dia minggu lalu Geri masih pacaran sama lo," ujar Sera seraya mengajakku cipika-cipiki.
"Ya, gitu, Ser, emang ada orang yang ditakdirkan cuma jagain jodoh orang doang," nyinyir Sila dengan ekspresi simpati yang dibuat-buat.
Aku segera melepas pelukan Sera lalu memutar bola mata malas. "Ya, hidup emang begitu, Ser. Bener kata Sila, kadang kita emang cuma ditakdirin jagain jodoh orang doang. Tapi, Sil, kalo gue yang nikah sama Geri sekarang, gue nggak bakalan bawa gandengan cowok super kece yang dari tadi lo pelototin padahal suami lo ada di samping lo," ujarku yang sontak membuat kedua mata Sila membola, wajahnya memerah. Gadis itu terlihat malu luar biasa.
"Cieee~ Coba dong dikenalin, cowok super kece ini siapa?" tanya Sera menggoda.
Sebelum aku berbicara, Alexandre sudah memperkenalkan diri lebih dulu. "Hai, gue Alexandre. Lo bisa panggil gue Alex," ujar pria itu seraya mengulurkan tangan pada Sera yang langsung disambut oleh gadis itu.
"Hai, Lex, gue Sera. Salam kenal."
Lalu semua orang yang ada di meja bundar ini berkenalan dengan pria itu. Mengingat teman-temanku tahu kebiasaan burukku yang suka gonta-ganti pacar tapi aku masih perawan, aku pun memutuskan untuk menceritakan proses bagaimana kami berkenalan.
Aku juga bercerita jika kami tinggal bersama di Twogether selama dua tahun, dan Alexandre sering memakai sikat gigiku karena letak cangkir tempat sikat gigi kami bersebelahan. Biar terlihat jika pria itu bucin sekali padaku. Padahal kenyataanya, itu terjadi karena pria itu nggak bisa membedakan warna biru tua dan warna biru muda. Pria itu selalu mendadak buta warna saat masuk kamar mandi! Bah! Tapi ini biar jadi rahasia anggota Twogether saja.
Lalu aku juga bercerita bagaimana kami saling jatuh cinta karena bertemu setiap hari. Kalo pepatah jawa bilang; witing tresno jalaran soko kulino. Aku pula bercerita tentang betapa manisnya cinta kami yang bertebaran di setiap sudut Twogether seperti permen gula-gula. Padahal kenyataannya ada dua rekaman perjanjian dengan kalimat; Wina dan Alex tidak boleh saling jatuh cinta yang diulang sampai tiga kali.
"Wah, kadang jodoh juga begitu ya, Win. Udah cari ke sana-ke mari, eh, ternyata doi ada di depan mata.”
"Jadi, kapan nih lo nyusul Geri nikah?" tanya Sila lagi.
Pertanyaan Sila sontak membuatku memutar kedua bola mata malas. Pertanyaan seperti inilah yang kadang membuatku malas datang ke kondangan. Pertanyaan 'kapan nyusul?' 'kapan nih lo juga nikah?' benar-benar sangat mengganggu.
Hei, nggak semua orang ingin menikah dan pertanyaan seperti itu bisa menjadi tekanan dan beban tersendiri bagi orang lain. Tetapi menjadi manusia yang hidup di negara +62 memang susah sekali. Belum nikah bakal terus ditanya kapan nikah. Sudah menikah bakal ditanya kapan punya anak. Sudah punya anak bakal ditanya kapan nambah. Punya anak banyak juga tetap dinyinyiri; 'iya, sih, banyak anak banyak rejeki, tapi kalo kira-kira nggak mampu ya sadar diri, kek. Punya anak satu aja udah cukup.' Dan ... orang yang bilang begitu adalah orang yang sama yang nanya 'kapan tambah anak' melulu.
Padahal setiap orang berhak untuk memutuskan segala hal yang membuat hidup mereka bahagia. Setiap orang berhak menjalani kehidupan seperti yang mereka mau. Memutuskan untuk menikah silahkan, tidak mau menikah juga tidak apa-apa. Memutuskan childfree boleh, mau punya anak lima juga monggo.
Aku tersenyum lebar pada Sila. "Doain aja, Sil. Kalo gue nikah, entar lo juga gue undang," jawabku kalem.
Sebenarnya aku juga bisa menanya balik, 'Lah lo kapan punya anak, Sil?' karena Sila yang sudah menikah selama tiga tahun belum dikaruniai momongan. Tetapi aku tahu, pertanyaan seperti itu hanya akan menyakiti Sila, makanya aku memutuskan untuk tetap bungkam.
Aku tidak tahu apa yang dialami Sila selama tiga tahun ini. Bisa jadi ia memang memutuskan untuk tidak punya anak dan hidup berdua selamanya dengan suaminya. Aku bisa malu sendiri jika tetap melontarkan pertanyaan itu. Atau Sila sedang berusaha punya anak hingga program sana-sini, ia sedang semangat, bisa jadi pertanyaanku nanti justru membuatnya tertekan dan kehilangan harapan. Pada akhirnya kita sendiri yang memutuskan, balik nyinyir, atau menjadi manusia yang berkelas.
Akhirnya antrian di depan sana mulai terurai. Aku pun segera menghabiskan bolu yang ada di mulutku, lalu menggandeng lengan Alexandre untuk bersalaman dengan Geri dan Sari.
Dengan dagu terangkat, langkah pasti nan percaya diri, serta senyuman super lebar yang terus terpampang di bibir, aku menaiki panggung. "Hei, Ger, congrats buat pernikahan lo. Semoga lo selalu bahagia," doaku tulus.
Aku percaya Tuhan hanya mengabulkan doa yang baik, sedangkan doa-doa yang buruk akan kembali padaku. Makanya, walau cecunguk ini menyelingkuhiku aku tidak mau mendoakan hal buruk padanya. Aku hanya mau Geri tahu, jika saat ini aku baik-baik saja.
"Thanks, karena lo udah dateng. Jadi, dia ‘mainan’ baru lo?" tanya Geri dengan tawa mengejek.
"Nggak, Ger, kali ini gue serius.”
Lagi-lagi Geri tertawa mengejek. “Ya, ya, ya, terserah lo deh, Win. Kita berdua tahu serius versi lo gimana.”
Tentu saja mendengar perkataan Geri, emosiku langsung naik ke ubun-ubun. Baru saja aku ingin mengungkit-ungkit soal perselingkuhan pria itu agar sekalian saja semua orang tahu, tapi Alexandre lebih dulu meraih tanganku dan mengecup punggung tanganku lembut.
“Gue emang serius sama, Wina. Dan gue nggak peduli Wina serius sama gue apa nggak, Bro. Karena gue bener-bener cinta sama Wina setengah mati, dan gue berjanji bakal mastiin sendiri kalau Wina cuma bakal nikah sama gue. Walau buat dapetin dia, gue bener-bener harus berjuang mati-matian dan ditolak ribuan kali. I love her, I love her so much. And I think I'll die if she leaves me."
Dan aku sungguh tak bisa berkata apa-apa, karena akting seorang Alexandre Rajendra benar-benar luar biasa.

KAMU SEDANG MEMBACA
fake it until you make it
RomanceHi, Mate! (New Version) Alexandre Rajendra dan Wina Rakasiwi Soebarjo adalah teman satu rumah sejak dua tahun lalu. Anggota Twogether menjuluki mereka Tom and Jerry karena tidak pernah akur. Namun, bagaimana jika pada suatu malam penuh bintang mere...