Prolog

6.4K 628 34
                                    

Langkahnya tertatih menyusuri jalanan malam yang tak terlalu ramai. Tanpa arah dan tujuan yang jelas, kakinya terus melangkah. Meskipun sakit, meskipun beberapa kali harus berhenti, tak sedikitpun ia menyerah untuk terus berjalan. Tangan kecilnya menggeret koper berisi pakaian dan barang lain miliknya.

Tatapan mata yang sayu miliknya berpendar ke segala penjuru. Saat dirinya tiba ditaman, ia memilih tempat yang jauh dari keramaian. Menyembunyikan diri di kegelapan. Duduk dikursi taman seorang diri memang hal menyedihkan. Mau bagaimana lagi? Dunia sedang menolak kehadirannya.

Tidak ada lagi tempat berlindung yang bisa di datangi. Punggung ringkihnya gemetar menahan dingin. Tangan-tangan yang tak seberapa kuat itu memeluk tubuhnya sendiri. Kakinya tidak kuat lagi untuk berlari.

Menangispun bukan lagi obat, tapi entah. Kini ia malah menangis lebih keras. Bukan maksud meratapi nasib buruknya, namun merasa tak terima atas penolakan yang diterimanya. Seburuk itu dirinya dimata orang lain. Bahkan orang yang selalu ia anggap rumah dan pelindungnya tak ayal hanya menganggapnya seorang yang kotor. Jalang.

Pikirannya melayang pada anak balita yang ia tinggalkan. Ia menangis kesakitan. Ah, bahkan dengan anaknya saja ia harus dipisahkan. Ibu mana yang rela anaknya diambil? Ia rasa hanya orang bejad yang berani mengusir ibu dan mengambil anaknya.

"Maafkan Ibu, maafkan Ibu," gumamnya berkali-kali.

Tangisnya semakin pilu. Dadanya berdenyut sakit. Harusnya ini jam anaknya meminum susu. Tapi sekarang tidak lagi. Tidak akan ada yang merengek hingga menangis sembari menarik bajunya. Tidak ada lagi anak yang selalu ia peluk sebelum tidur.

"Penghianat sepertimu tidak pantas berada dirumah ini. Angkat kakimu dari sini dan pergi sejauh mungkin. Jika perlu, mati saja kau."

"Semudah itu kau mengangkang dibawah laki-laki lain saat suamimu kerja keras untukmu?"

"Jalang."

"Mati saja kau!"

"Sampai aku matipun, aku tidak akan sudi mempertemukan cucuku denganmu. Ibu yang buruk."

"Semoga anak yang kau kandung tidak menyerupai ibunya."

Ah, malang sekali hidupnya. Sekarang ia terlunta-lunta tak jelas. Rumah untuk berpulang pun tak ada, lantas kemana pelariannya tertuju?

Tidak ada yang membelanya, bahkan suami yang ia yakini percaya padanya pun hanya bungkam seribu bahasa. Tidak ada pembelaan untuknya, menatapnya saja enggan. Kehancurannya sudah terjadi, ingin mati saja rasanya.

Jika saja tak ada nyawa lain yang tengah dibawanya, mungkin ia akan memilih terjun dari jembatan hingga tubuhnya hanyut terbawa arus deras sungai. Untuk saat ini mati bukan pilihan yang buruk. Tapi ada anak yang tengah menggantungkan hidup padanya.

"Jika ayahmu tidak menginginkanmu, masih ada aku yang akan memperjuangkanmu. Anak Ibu, anak baik," ucapnya mengusap perut buncitnya sendiri. Harapan hidup satu-satunya.

Saat punggungnya ditabrak dengan keras, Renjun tak peduli. Saat cemoohan datang bergantian, maka kupingnya hanya akan mendengarkan ucapan baik saja. Bahkan saat kakinya harus menapaki jalan berduri, ia akan terus melangkah. Semua untuk anaknya. Segala hal tersulit pun akan dilakukannya.

Pikirannya kembali melayang pada putra sulungnya yang bahkan belum menginjak usia 2 tahun. Tidak bisa membayangkan mereka dipaksa berjauhan hanya karena tuduhan tak berdasar. Senyumnya, tawanya, bahkan tangisannya masih melekat di ingatan. Rengekan si sulung yang selalu membuatnya jatuh cinta. Kini, seberapa keras pun usahanya, tidak akan ada lagi pertemuan bebas antara mereka.

Asi terus merembes, membasahi kemeja satin lusuh yang dikenakannya. Hatinya menjerit tak terima, tapi raungan itu hanya ia simpan sendiri. Berharap anak itu baik-baik saja saat berjauhan dengannya.

"Sekarang hanya tinggal Ibu dan kau. Tidak apa berdua, ya?" Monolognya lagi. Mencoba menelan bulat-bulat kenyataan yang berhasil memporak-porandakan hidupnya dalam sekejap. Ia tak menyalahkan anak yang dikandungnya. Karena ia sadar, itu hanya akan membuatnya semakin hancur jika menuruti emosi sesaat.

"Ibu tidak mungkin menyingkirkanmu demi kepentingan sendiri. Kau anak Ibu dan Ayah. Tidak apa, saat ayahmu, nenekmu bahkan orang lain sekalipun menolak kehadiranmu, Ibu masih kuat berdiri untuk menghidupimu. Sayangnya Ibu, tumbuh dengan baik ya, Nak? Sudah besar nanti, tolong jadi anak yang kuat." Monolognya begitu menyedihkan. Darah dagingnya sendiri, mustahil untuknya menyingkirkan anak tak berdosa.

Ini hanya tentang pemahaman mereka yang salah.

Ya, sekarang hanya tinggal mereka berdua. Dunia yang lebih kejam menanti didepan mata. Hal pertama yang harus dilakukannya adalah mencari tempat untuk berpulang.







A G O N Y

Sepenggal Kisah dari JAEREN
Written by; Jeojae

Huang Renjun

Jung Jaehyun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jung Jaehyun

Ini adalah cerita pendek sudah lama aku tulis, baru kali ini dipublikasikan dengan maksud membangkitkan kembali semangat menulisku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini adalah cerita pendek sudah lama aku tulis, baru kali ini dipublikasikan dengan maksud membangkitkan kembali semangat menulisku. Maaf ya, untuk cerita yang aku hapus sebelumnya.

AGONY | JaeRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang