3

4K 550 57
                                    

Renjun duduk didepan ruangan anaknya. Didalam sana Jisung tengah terlelap setelah satu jam lalu dokter memeriksanya. Anaknya itu demam tinggi dan nyaris mengalami kejang. Beruntung ia cepat membawanya ke rumah sakit. Tadinya, Renjun akan membawanya ke klinik saja, tapi mengingat hari yang semakin gelap, tidak ada klinik yang masih buka di jam-jam seperti itu didekat daycare ataupun apartemennya. Lantas ia memilih membawa cepat anaknya ke rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan lanjutan.

Sungguh, hatinya seolah tercabik saat mendengar rintihan anaknya. Air mata yang mengaliri pipi berisi si kecil membuat Renjun mau tak mau ikut menangis. Ini bagai tamparan yang kesekian kali untuknya.

Ia menengok ke samping saat mendapat tepukan dibahunya. Kembali ia menghela napas berat. Kelopak matanya sembab setelah menangis tadi.

"Cucuku pasti baik-baik saja," ujar pria paruh baya itu.

"Harusnya Tuan tidak perlu melakukan ini," balas Renjun. Ia menegakkan posisi duduknya. Tangannya saling bertautan diatas pangkuan.

"Aku harus. Dia cucuku juga, bagaimana bisa aku abai saat cucuku sakit?" Tuan Jung menepuk dua kali bahu menantunya. Ah, bolehkah ia menyebut Renjun sebagai menantunya?

"Terimakasih," ucap Renjun tulus. Ia membalas senyum pria itu. Betapa Renjun bersyukur saat anaknya mendapat pelayanan baik disini setelah sebelumnya ia hanya bisa menyewa kamar tipe biasa yang dihuni  empat orang sekaligus didalamnya. Lalu beberapa saat lalu Tuan Jung datang dan memindahkan anaknya menuju ruangan VIP.

"Aku percaya padamu, Renjun. Jika aku sama saja seperti mereka, aku tidak akan berada di sini dan melihat cucuku itu."

"Kenapa Tuan percaya padaku? Bukankah aku salah?" Tanya Renjun beruntun. Kadang ia bertanya-tanya mengapa mantan mertuanya ini masih berbaik hati padanya yang bahkan sudah dipandang buruk oleh orang lain? Memang benar, Tuan Jung tidak ada disaat pengusiran dirinya terjadi. Saat itu yang ia tahu, beliau berada diluar kota menyelesaikan tugas kantornya. Bolehkah Renjun merasa bersyukur karena setidaknya masih ada satu orang yang mempercayainya?

Tuan Jung memandang lurus Renjun. Selama hampir empat tahun ia menyembunyikan perihal ini pada keluarganya. Bahkan saat istrinya memohon atas penyesalan untuk perbuatan keji yang telah dilakukannya pada Renjun, Yunho tetap bungkam. Ia menghormati keinginan Renjun untuk tetap menyembunyikan keberadaannya dan si kecil Jisung.

Lantas pria paruh baya itu berujar. "Sejak awal aku memang tidak pernah mempercayai skandal itu. Kau orang baik, seperti ayah dan ibumu. Seberapa banyakpun orang yang berusaha mencoreng namamu, aku tidak akan mempercayainya jika bukan kau sendiri yang mengatakannya."

"Jaehyun mungkin terlalu bodoh untuk menahanmu pergi. Tapi aku? Aku juga ayahmu, aku menganggapmu anakku sendiri, aku bisa merasakan bagaimana anakku saat berkata jujur atau saat anakku berkata bohong. Dari semua yang aku dengar setelah kau pergi, bukankah itu jelas hanya permainan kotor belaka?"

Renjun menggeleng tanda tak mengerti. Dirinya sendiri terlalu terkejut dengan hal yang tiba-tiba menimpa kehidupan damainya. Dalam sekejap mata, keluarga kecilnya hancur begitu saja. Kelahiran anak kedua yang seharusnya disambut dengan suka cita, berubah menjadi rundungan kesedihan tanpa jeda untuknya kala itu.

"Aku bahkan masih ingat bagaimana wajah bahagia anak-anakku saat menceritakan perihal kehadiran anggota baru."

Anak-anak yang dimaksud beliau adalah Jaehyun dan Renjun. Dan anggota baru itu adalah Jisung yang saat itu baru tumbuh sebesar biji jagung diperut ibunya. Renjun terkekeh mendengar itu, tak urung air matanya mengalir bersama tawa sumbangnya mengingat dulu pernah ada tawa sebagai sambutan hadirnya janin kecil diperutnya.

"Apa kau baik-baik saja saat melahirkannya? Aku mungkin baru bisa menemukanmu setelah satu tahun pencarian. Tapi sungguh, tidak ada sedikitpun rasa benci dariku untukmu juga untuk Jisung. Aku menyayangi kalian, anak dan cucuku."

AGONY | JaeRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang