Adhera lelah.
Bukan secara fisik. Batinnya amat sangat lelah. Katanya, ia tak pernah memikirkan sesuatu sampai berlarut-larut seperti saat ini. Permasalahan dalam rumah tangga memang beragam. Dan masalah yang ia hadapi kini adalah masalah dasar dalam sebuah hubungan, yakni komunikasi.
Setelah dipikir lagi, ternyata memang benar. Akhir-akhir ini ia dan suaminya jarang sekali membicarakan hal yang serius. Percakapan sehari-hari juga tidak jauh dari saling tanya letak barang yang lupa Arsya taruh di mana. Lelaki itu selalu berangkat pagi dengan buru-buru, kemudian pulang saat larut. Awalnya Adhera selalu menunggu, tapi setelah beberapa minggu ia jadi lelah sendiri.
Hampir setiap malam, rutinitas sebelum tidurnya hanyalah menerka-nerka. Ada masalah apa dengan suaminya sehingga rasanya makin hari ia terasa semakin jauh? Apakah suaminya sudah bosan? Padahal pernikahannya baru seumur jagung. Mereka bahkan belum dikaruniai seorang anak, tapi rasanya sungguh berat.
Perempuan itu lagi-lagi menghela napas. Olly dan teman-temannya yang lain sudah pergi sekitar tiga puluh menit yang lalu setelah mengantarnya pulang. Baru pukul lima sore, dan batang hidung Arsya belum juga terlihat.
Adhera sudah tak ambil pusing. Ia memilih mengumpulkan beberapa pakaian kotor yang berserakan di atas kasur. Handuk basah bekas tadi pagi pun tergeletak begitu saja di depan lemari. Ia menduga suaminya lagi-lagi berangkat dengan terburu-buru tadi pagi.
Daripada berdiam diri, memikirkan kemungkinan yang tidak-tidak, ia pun memilih untuk berbenah. Mencuci baju sambil menyapu lantai dapur yang sudah lumayan berdebu setelah ia tinggal beberapa saat.
Ia bahkan belum sempat membasuh diri, tapi sudah mondar-mandir ke sana kemari di dalam rumahnya.
Tepat setelah adzan magrib berkumandang, pekerjaan yang lumayan menguras tenaga itu pun selesai ia kerjakan. Ia kira suaminya akan pulang larut lagi. Tapi nyatanya Adhera salah. Setelah selesai menunaikan shalat magrib, saat hendak meraih mushaf di atas nakas samping tempat tidur, suara salam dari ruang tamu terdengar. Mau tak mau ia bangkit, bergegas menyambut hari suaminya.
"Wa'alaikumussalam," sahutnya, kemudian segera menghampiri pria dengan kemeja putih lusuh itu. Jas hitam di lengan kirinya diraih Adhera, memindahkannya ke bahu sendiri lalu menyalami tangan sang suami. "Kok pulangnya cepet?" tanyanya dengan nada sediki menyindir.
Arsya terenyum kikuk. "Kerjaan aku udah selesai," katanya sembari mengelus puncak kepala sang istri yang ditutupi mukena.
"Kenapa gak ngabarin? Aku jadi gak sempet masak." Adhera mengikuti langkah Arsya menuju kamar.
"Nanti pesan aja. Mas mau mandi dulu," ujarnya yang dibalas anggukan oleh Adhera.
Beberapa menit kemudian, setelah selesai shalat magrib, Arsya menghampiri istrinya yang kini bersandar di kepala ranjang dengan mushaf yang terbuka.
Ia duduk di hadapan Adhera, memperhatikan perempuan itu dalam diam. Wajahnya terlihat sayu, kantung matanya hitam dan kendur. Apakah istrinya tidak tidur semalaman? Pipinya pun terlihat tirus. Tanpa sadar, tangannya terangkat. Mengelus pipi perempuan itu dengan pelan.
Adhera terkesiap. Ketika mengangkat wajah, pandangan mereka bertemu. Sudut bibir pria di depannya mengembang, menampilkan senyuman yang sudah lama tidak Adhera lihat. "Mas," panggilnya. Arsya hanya menjawab dengan gumaman pelan, tangannya naik untuk mengelus kepala istrinya dengan sayang.
"Maaf, Mas selama ini kurang perhatian sampai nggak sadar wajah istri mas setirus ini," gumamnya.
Adhera menunduk. Ia tiba-tiba merasa begitu cengeng, baru begitu saja ia sudah ingin menangis. Suaminya, ia rindu suaminya.
"Jangan nangis, Mas di sini," tambahnya. Lalu didekapnya perempuan yang kini nenangis tersedu-sedu.
"Aku capek, Mas," suara sengaunya keluar dengan susha payah. "Aku capek menerka-nerka apa yang sebenarnya Mas alamin selama ini. Mas selalu sibuk sendiri, sampai rasanya aku udah gak berguna lagi di sini. Mas anggep aku apa sebenarnya?" racaunya di dalam dekapan sang suami.
"Maaf, Mas nggak bermaksud begitu. Mas nggak mau membebani kamu dengan masalah mas. Awalnya mas pikir, urusan kantor nggak boleh dibawa ke rumah. Tapi nyatanya gak bisa, pikiran Mas penuh, Dhe. Kepala mas rasanya mau meledak beberapa hari ini. Belum lagi pas kamu tiba-tiba izin buat ikut jadi relawan. Mas nggak enak buat nggak ngijinin, tapi mas juga butuh kamu," jelas Arsya seraya mengelus punggung istrinya. Berharap dengan begitu Adhera bisa lebih tenang, dan mampu menerima penjelasannya.
Adhera menegakkan tubuh, menatap pria di depannya dengan wajah sembab. "Aku ini istrimu lho, mas. Kamu bisa cerita apa aja ke aku, termasuk masalah kantor. Mungkin aku gak bakal bisa bantu ngasih solusi, tapi seenggaknya kamu bisa keluarin semua keluh kesah kamu. Biar semua nggak numpuk di kepala kamu aja. Kamu juga manusia, bukan robot yang apa-apa harus diselesaikan sendiri," omel perempuan itu.
Pada akhirnya, yang keluar dari mulutnya hanya permintaan maaf yang mungkin sudah tak berarti apa-apa lagi bagi perempuan di depannya.
"Kamu sadar gak sih, kalo selama ini kita kurang banget komunikasi. Kita nggak pernah bener-bener saling terbuka," ujar Adhera. Tangisnya sudah mulai surut, kini yang tersisa hanya suara sengau yang cukup mengganggu pendengaran.
"Boleh gak, Dhera minta mulai sekarang kamu kalo ada apa-apa cerita. Jangan dipendem sendiri." Adhera beralih meraih tangan kanan suaminya. Ia genggam erat, seraya menepuk-nepuknya dengan sebelah tangannya yang bebas.
Arsya mengangguk, "boleh. Kamu juga boleh gak, Mas minta mulai sekarang ingetin Mas kalau ada apa-apa yang bikin kamu gak suka? Boleh gak, kamu genggam tangan mas kaya gini terus, sampai kita jadi kakek nenek nanti?" balas Arsya.
Saat melihat Adhera menggeleng, sontak kedua alisnya terangkat, heran. "Nggak ah. Masa gandengan kaya gini terus, capek. Apalagi kamu belum makan, apa gak laper?" gurau perempuan itu, yang pada akhirnya sukses membuat Arsya terkekeh.
Diciumnya kening Adhera dengan kepala yang digerak-gerakkan, gemas sendiri. Istrinya, ia pun rindu istrinya.
Rasanya sudah lama mereka tak seperti ini. Saling menggoda, hingga masing-masing dari mereka tertawa lepas. Melupakan masalah-masalah yang tempo hari membuat mereka renggang.
"Ayooo, kamu katanya mau makan. Biar Dhera pesenin, karena kalo masak gak sempet," peringat Adhera saat suaminya tak kunjung berhenti membombardir keningnya dengan kecupan-kecupan kecil.
"Boleh makan yang lain aja gak? Kalo nunggu pesen ntar lamaaaa."
"Mau makan apa? Di dapur gak ada apa-apa lho." Kening Adhera berkerut, menatap wajah suaminya yang kini tiba-tiba berubah jenaka.
"Makan kamu boleh?" Tawa Arsya pun menggelegar saat timpukan guling mengenai bahu kanannya.
"Maaaasssssss, yang bener ajaaaaa," Adhera merengek, tangannya yang tadi memegang guling terlepas. Kini berganti menutup wajahnya yang sudah semerah tomat.
"Kenapa sih? Kamu kok mukul Mas," ujar Arsya di sela-sela kekehannya.
"Dhera maluuuuuu."
****
Haloooo,
Assalamu'alaikum...Aku baru apdet setelah setahu ngilang? Huhuhu maapkeuuuunnnnn. Baru dapet hilal lagi.
Draf sama outline2 cerita ini ilang. Jadi mungkin nanti bakalan gak sesuai sama jalan cerita yang awalnya aku bikin (buat remains diri sendiri) hehe
MasyaAllah..
Semoga ada yang masih nungguin cerita ini yaaa (gaada juga gpp mueheheheh)Okee, udaahh gitu ajaaa. Makasiihhh buat yang udah nunggu, jangan lupa kasih kritik, saran dan vote yaaaa.
Love,
Rifa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Adhera
Romance#Romance-Spiritual Adhera kira menumpukan hati pada selain dari Rabbnya bisa membawanya lebih dekat padaNya. Dia yang hidup jahil, pada akhirnya menemukan hidayah terindahnya melalui seorang pria bernama Arsyamil. Ia labuhkan hati, pengabdian serta...