🌹Menyerah?

1.6K 69 3
                                    

"Jangan karena lelah, kamu memilih berhenti untuk memperjuangkan. Jika masih diberi kesempatan, pertahankan apa yang harus dipertahankan. Jika sudah di ambang batas, isirahatlah sejenak. Ambil waktu sebanyak mungkin, hingga kamu siap kembali melangkah."

-Princess Adhera

🌹🌹🌹

Adhera berdiri di hadapan Arsya, melepaskan dasi merah marun yang masih menggantung di leher kemeja sang suami. Wanita dengan kerudung pastel instan itu memperhatikan guratan lelah di wajah Arsya. Berulang kali pula wanita itu mendengar helaan napas berat dari pria yang empat bulan ini menjadi suaminya.

Sebenarnya wanita itu ingin bertanya, apa sekiranya yang membuat sang Suami sampai begitu lelah. Jika boleh berprasangka, mana mungkin hanya karena pekerjaan Arsya menjadi seperti ini. Apalagi, beberapa hari ini pria itu lebih sering pulang malam. Berangkat di pagi buta pun seakan sudah menjadi kebiasaannya kini.

Tapi Adhera belum berani bertanya. Takut-takut, ia justru semakin merusak mood sang Suami nantinya.

"Hari ini makan malam di rumah, Mas?" Adhera memberanikan diri buka suara.

Sekilas, terdengar helaan napas berat Arsya. Pria itu kemudian menggeleng, menatap Adhera yang mendongaknya di bawah dagu.

"Maaf," katanya lirih.

Adhera menunduk, mengalihkan tatapan dari wajah sayu sang suami. Adhera mulai lelah dengan keadaan mereka kini. Padahal, satu minggu yang lalu masih baik-baik saja. Bahkan, sebelum hari ini Adhera masih bisa bersabar dengan sikap Arsya yang mulai tak bisa wanita itu tebak. Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa suaminya berubah?

"Kalau begitu, hari ini Dhera mau ikut program kunjungan TPQ. Mungkin sampai malam, atau mungkin juga kami akan menginap di desa," jelas Adhera, diiringi helaan napas beratnya.

Arsya sebelumnya tampak tak terima. Terlihat jelas dari pandangannya yang kini menajam. "Kenapa harus menginap segala? Kamu kan bisa minta Tilar nganter pulang duluan," sergah Arsya terdengar resah.

Kali ini Adhera menggeleng, "tidak perlu. Lagian aku juga ingin memberi Mas waktu," katanya.

"Waktu?" Alis Arsya terangkat.

"Hemm."

Wanita yang berdiri di depan Arsya itu kemudian berbalik, hendak melangkah menuju pintu kamar. "Mas kayanya butuh waktu sendiri," lanjutnya.

Kemudian tanpa menoleh lagi, keluar meninggalkan Arsya yang kini masih berdiri, merenung. Menatap bayangan sang istri yang hilang di tikungan pintu.

***

"Lo yakin mau ikutan nginep?" Olly kembali melontarkan pertanyaan yang sama, setelah beberapa saat lalu sang sahabat mengutarakan keinginannya.

Adhera mengangguk mantap.

"Gue nggak ngizinin," sambar Revan yang baru saja masuk ke ruang sekertariat.

Pria bertubuh tegap dengan setelan formal itu melangkah menghampiri tiga perempuan yang duduk di sofa. Tatapannya kini tertuju ke arah seorang perempuan bergamis lebar mustrad, dengan khimar berwarna senada.

"Gue nggak mau ada komplain dari suami lo nantinya," ujarnya setelah duduk pada sofa single di depan wanita itu.

"Aku nggak butuh izin kamu, Van. Nggak juga butuh izin dari Mas Arsya," ujar Adhera tegas.

"Dhe, jangan gila!" Olly kembali memperingati.

"Aku ingin menenangkan diri, Ly. Rasanya, satu minggu belakangan ini aku terlalu banyak pikiran," kilah Adhera sembari menatap sang Sahabat yang duduk di sebelahnya.

Dita yang duduk di seberang, pada sofa berbentuk bundar itu hanya diam mengamati. Tak berani mengeluarkan suara, sebab sepertinya Adhera sedang tidak berada dalam mood yang baik. Jika Dita ikut menyela, nantinya hanya akan membuat emosi Adhera semakin memuncak.

"Tapi ya, nggak sampai nentang suami juga kali, Dhe," sanggah Olly. "Lo nggak boleh kaya gini. Turunin dulu ego lo," sambungnya seraya mengelus pundak Adhera.

"Kita nggak tahu lo ada masalah apa di rumah. Kita nggak bisa ikut campur. Apalagi, sekarang lo udah jadi istri orang," ujar Revan. "Lo nggak boleh lari dari masalah, Dhe. Selesaiin baik-baik."

Adhera menghela napas dengan berat untuk yang kesekian kalinya. Dengan tatapan memohon, ia menghadap ke arah Revan, sang Ketua.

"Van, aku nggak lari dari masalah. Aku hanya ingin menenangkan pikiran, itu aja kok." Adhera memelas, " lagian setelah menikah, setiap kalian ada kegiatan aku jarang ikut."

"Tapi, suami lo gimana? Lo udah minta izin?" Raut wajah Revan melunak. Menatap Adhera sambil menggulung lengan kemeja kirinya.

Adhera beberapa saat sempat terdiam. Kemudian dengan kaku, menganggukkan kepala beberapa kali. "Sudah," cicitnya.

"Lo keliatan nggak yakin," sahut Dita, yang sedari tadi hanya diam. Gadis dengan pasmina grey itu menelisik perubahan wajah Adhera.

Satu-satunya wanita yang sudah bersuami itu menegak. Menatap Dita dengan pandangan memelas, "aku udah izin, tadi pagi," ujarnya.

"Terus dizinin nggak?" Revan menimpali.

Adhera menggeleng, tak yakin, "nggak tahu."

Sepersekian detik setelahnya, Olly yang masih di sampingnya mendelik. Benar-benar tak habis pikir dengan sikap keras kepala sang sahabat.

"Mending lo anter dia pulang, Ly," tunjuk Revan ke arah Adhera.

"Apaan sih, kalian. Aku nggak mau pulang," tolak Adhera tegas.

Revan di tempatnya ikutan mendelik. Tatapannya jadi berubah sangar. Adhera hari ini sensitif sekali. Tidak biasanya ia begitu. Setahu Revan, wanita ini cukup sabar. Memiliki pertahanan yang kokoh. Meski keras kepalanya, memang sudah bawaan dari sananya.

"Lo hamil, Dhe?" Tiba-tiba pertanyaan yang terbesit di kepalanya, Revan lontarkan.

Hening.

Tatapan semua orang di ruangan itu kini tertuju sepenuhnya ke arah Adhera. Sementara Adhera yang ditatap sedemikian intens oleh rekan-rekannya, meneguk ludah. Ia juga kaget ditanyai seperti itu.

Apa aku hamil?

Teringat sesuatu, wanita itu pun menggeleng, "gue baru mandi kemarin. Emang bisa secepat itu?" tanyanya dengan polos.

Olly menepuk keningnya, lalu menggeleng pelan. Sementara Dita yang sudah ikutan kaget, mendengkus sebal. Lalu Revan? Kini pria itu hanya bisa memijit pelipisnya berulang kali. Adhera yang seperti ini memang sulit ditangani.

"Terus lo kenapa kalau nggak lagi hamil? Sensitif banget," ujar satu-satunya pria di ruangan itu. "Lo biasanya nggak pernah sengotot ini. Bahkan perubahan mood lo bener-bener nggak stabil." Revan kembali menatap Adhera.

Lalu Olly yang  kini menepuk-nepuk pundak wanita di sampingnya pelan, mengangguk membenarkan.

"Lo kenapa sih?" tanyanya.

Adhera menggeleng, lalu menarik napas dan menghembuskannya dalam satu waktu. "Aku lagi banyak pikiran. Itu aja kok," tegas Adhera.

"Oke. Lo boleh ikut, asal ada persetujuan dari Arsya. Gue nggak mau tanggungjawab, kalau seandainya suami lo ngamuk gara-gara lo nekat gini," putus sang Ketua.

"Kamu yah, Van. Jadi ketua nggak bertanggungjawab," delik Adhera, sebal.

"Jangan ngomong gitu. Ini justru termasuk bentuk tanggungjawab gue." Tatapan Revan meneduh, lalu kembali berujar, "lo harusnya berterima kasih. Karena gue, kini berusaha buat ngejauhin lo dari murka Allah."

"Murka Allah?" Dita menyela.

Revan pun mengangguk, "iya. Adhera hampir aja ngelanggar kodratnya. Sok-sokan keluar nggak butuh izin suami," katanya.

Adhera seketika terdiam. Meneguk ludah dengan susah payah. Dengan bibir terkulum, wanita itu berdehem. Membasahi tenggorokan yang terasa kering.

Revan benar. Baru saja ia hendak  melangkah, tanpa ridho sang suami.

"Kamu benar," cicitnya.

Princess AdheraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang