🌹Renggang

224 20 2
                                    

Selama perjalanan, yang Adhera lakukan hanyalah melamun. Tak sekalipun keindahan alam di sekitarnya menarik perhatian wanita itu. Sesekali ia menghela napas berat. Matanya terlihat layu. Begitupun raut wajahnya yang mengkerut tak bersemangat.

"Jangan melamun. Jangan sampai kamu gantiin Elsa buat jadi sarangnya dedemit," tegur Olly yang duduk di sebelahnya.

"Allah ridho gak sih, sama perjalananku ini?" tanya Dhera, entah pada Olly ataukah dirinya sendiri.

"Sudah minta izin suami kan?" Revan di balik kemudi memastikan.

Adhera mengangguk, namun tak terlalu bersemangat.

"Kalau begitu, kenapa ragu? Kamu maksa ya, makanya diizinin?" Olly bertanya dengan nada selidik.

Helaan napas kembali terdengar dari mulut Adhera. "Sudah izin baik-baik, dan diizinkan. Tapi, akhir-akhir ini, hubunganku dengan Mas Arsya agak renggang. Dia seperti tengah memikul beban berat, yang gak mau dibagi ke siapa pun. Umur pernikahan kami masih muda, dan aku gak habis pikir bisa ada keretakan sedini ini," racau Dhera dengan lesu.

Olli yang di sampingnya mengelus pundak sang sahabat. Revan dan lelaki berkopiah di sampingnya hanya mendengarkan. Memilih saat yang pas untuk menyela.

"Kamu jangan mikir yang nggak-nggak dulu. Coba deh, bicarain baik-baik. Kamu coba tanya suamimu, apa sebenarnya yang dia pikirkan. Pokoknya kalian gak boleh miskom. Kamu harus punya inisiatif biar masalah kalian gak semakin melebar," saran Olly.

"Pinter beud Bu Haji," ledek lelaki di samping Revan.

Olly mendengus. Tidak suka dengan Tilar yang lagi-lagi berusaha merusak moodnya.

"Tapi bener loh, Dhe. Kalau lo gak tanya apa yang sebenarnya suami lo sembunyiin, masalah lo gak bakal kelar," imbuh Tilar. "Kita juga tahu pasti, Arsya bukan orang yang bisa dengan mudah cerita masalahnya apa. Lo tahu kan Dhe, sifat keras kepala Arsya gak kaya lo yang bisa lunak hanya karena mikirin kodrat?"

Adhera mengangguk membenarkan. Olly masih terus mengusap bahu sahabatnya. Perjalanan mereka menuju desa terasa begitu lama. Ditambah bahasan berat mereka, bukannya meringankan beban Dhera, tapi justru semakin menghimpit kepalanya.

"Besok, lo pulang bareng Tilar, Dhe. Untuk kerjaan lo biar dihendel Olly. Gue gak mau kegiatan kita jadi gak lancar gara-gara lo gak fokus," tegas Revan.

Sebenarnya, sebelum berangkat Arsya sudah mewanti-wanti pria itu untuk membujuk Adhera. Agar wanita itu tidak sampai bermalam-malam di desa. Sahabatnya itu takut tidak bisa menghubungi istrinya karena sinyal di pelosok diperkirakan akan sangat tidak bersahabat. Terlebih dengan kepergian wanita itu yang sebenarnya Arsya sendiri tidak rela.

Adhera yang sudah kehilangan kata-kata, lagi-lagi hanya mengangguk pasrah. Untuk malam ini, setidaknya ia bisa menghindar dari Arsya. Ia ingin mengistirahatkan pikirannya yang akhir-akhir ini malah semakin menjadi. Prasangka-prasangka buruk tentang apa yang tengah dilalui suaminya membuat Adhera kehilangan kendali. Mood tidak stabil pun merupakan imbas dari overthinking-nya.

🌹🌹🌹

Di lain tempat, Arsya kini memijit pelipisnya dengan pelan. Banyak sekali hal-hal yang tidak bisa ia kendalikan akhir-akhir ini. Masalah kantor yang membuatnya menjadi jauh dari rumah pun, tidak juga surut. Penggelapan dana yang dilakukan client-nya belum bisa diusut tuntas. Jika bukan dana dari proyek besar, mungkin ia tidak akan turun tangan sampai lupa makan bahkan tidur.

Selain itu, ternyata hal ini membuat hubungannya dengan Adhera menjadi renggang. Salahnya sendiri yang tidak berterus terang dengan apa yang dialaminya kini. Padahal orang bilang, salah satu tujuan menikah adalah untuk mencari teman berbagi. Entah itu susah maupun senangnya hidup. Tapi Arsya bukanlah tipe yang mudah terbuka. Meski ia sudah mengikrarkan bahwa sebagian dirinya adalah milik Adhera, tentu hal tersebut tidak serta-merta membuatnya membuka segala hal tentangnya pada gadis itu. Egonya terlalu tinggi. Ia pikir, bahwa masalahnya di kantor bukan hal yang harus dirisaukan istrinya. Bukan juga sesuatu yang harus Arsya besar-besarkan di depan wanita itu.

Tapi kini masalahnya justru karena ia tak berterus terang dengan perasaannya, dengan apa yang tengah dialaminya, keadaan rumah tangganya kini patut dipertanyakan.

Mengingat ucapan wanitanya kemarin, membuat dada Arsya kian sesak. Ia butuh sendiri? Tidak! Arsya malah menampik hal itu. Ia justru butuh Adhera kini. Tapi ia sendri bingung harus bagaimana ia mencegah agar wanitanya mau menetap. Tapi saat mengingat sikapnya-yang selalu merasa paling sibuk, paling merasa banyak masalah- pada istrinya, membuat pria itu hanya bisa pasrah. Mungkin Adhera pun tertekan dengan sikapnya. Terlebih dirinya yang lebih mementingkan urusan kantor daripada istrinya.

Dering benda pipih di sampingnya memecah pokusnya. Ia melihat sejenak nama penelpon di layar pipih itu, sebelum akhirnya menerima panggilan tersebut saat nama Tilar terpampang di sana.

"Halo, assalamu'alaikum. Iya, Lar?" sapanya.

Suara kendaraan bersahutan di telingan Arsya, membuat suara lelaki di seberang telepon teredam sejenak.

"Lo di mana, Sya? Dhera udah gue antar pulang," ujar Tilar sesaat setelah menjawab salam dari Arsya.

"Gue masih di kantor. Bentar lagi gue balik. Makasi ya, Lar. Lagi-lagi gue ngerepotin kalian," jawab Arsya. Suaranya terdengar lesu. Sesekali helaan napas berat terdengar di telinga Tilar. Arsya memang benar-benar sedang kacau.

"Oke. Oh, iya. Mood Dhera lumayan baik hari ini. Bukannya gue mau ikut campur, tapi lo baiknya coba ngomong sama dia. Selesaiin masalah kalian. Jangan sampai istri lo mikir macem-macem tentang lo," saran Tilar. Selain Revan, pada saat-saat genting Tilar memang sosok yang sangat dewasa. Sama halnya dengan ketuanya, Tilar juga tidak suka melihat teman-temannya berkubang dalam satu masalah.

"Iya, rencananya juga gitu," kata Arsya. Pria itu lalu bangkit dari duduknya. Dengan telpon yang ia jepit antara pundak dan bawah telinganya, ia mulai membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja kerjanya. Ini memang sudah agak sore, beberapa karyawannya mungkin sudah pulang kini.

"Dan juga," sela Tilar, "untuk masalah Elsa lo gak usah khawatir. Gue dan anak-anak bisa urus kok. Kami gak butuh orang luar. Karena kami sendiri tahu bagaimana harus menguatkan anggota keluarga kami," sambungnya.

Mendengar itu, Arsya terdiam beberapa saat. Mengenai Elsa, ia mungkin memang sudah terlalu banyak ikut campur. Karena rasa kasihannya, ia sempat ingin bertindak di luar nalarnya.

Lelaki itu menghela napas sejenak, sebelum akhirnya menanggapi ucapan Tilar. "Sorry, gue gak bermaksud jadi orang luar yang sok tahu. Hanya saja empati membuat gue melangkah sendiri," desahnya.

Di sebrang sana, Tilar mengangguk maklum. Ia juga awalnya berpikir begitu. Melihat keadaan Elsa yang sebatang kara, siapa juga yang tidak akan prihatin? Sekelas orang baik seperti Arsya pun tentu akan tergerak hatinya. Tapi Tilar tidak pernah menduga bahwa Arsya akan bergerak sejauh ini.

"Oke. Gue tutup ya. Jangan lupa selesaiin masalah sama istri lo segera. Jangan dibiarkan berlarut-larut. Gue sebagai sahabat Adhera masih berharap banyak sama lo, untuk ngejaga dia," tutup Tilar. Setelahnya sambungan terputus tanpa sempat Arsya menjawab ucapan pria itu.

Pasti. Arsya pasti akan selalu menjaga istrinya.



🍃🍃🍃





































Bismillah...
Assalamu'alaikum. Alhamdulillah bisa apdet lagi. Maaf ya teman-teman, daku ngilangnya berabad-abad.

But InsyaAllah kita bakalan pokus lagi sama cerita Adhe-Arsya. Doakeun semoga author gak mager dan gak sampe kehilangan feel lagi ya sama cerita ini :)





Jangan lupa vote comment, kritik serta sarannya ya. Jangan sungkan-sungkan buat dikritik. Kritik pedas tapi membangun juga gak papa :'v







Oke








Bye


















Love,
Rifa.

Princess AdheraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang