s a t u

115 10 0
                                    

Senandung Melodia tigabelas tahun yang lalu, cuma seorang pelajar tingkat akhir yang masih saja ragu pada dirinya sendiri. Kepercayaan dirinya nggak lebih besar dari butiran biji jagung yang hampir saja gagal untuk di panen.

Keberanian yang di milikinya apalagi, hanya sebesar butiran gula yang akan larut bila terendam air.

Odi punya terlalu banyak ketakutan. Selalu takut untuk begini, juga sering sekali takut untuk begitu. Bahkan saat ia sudah dipercaya sekolah dan ditunjuk sebagai vokal utama tim paduan suara yang akan berangkat ke perlombaan internasional, Odi masih nggak bisa sepenuhnya percaya pada kemampuannya sendiri.

Dia takut gagal, takut mempermalukan sekolah, takut mengecewakan orang tuanya, takut mengecewakan rekan satu timnya. Dia takut pada banyak hal. Gara-gara itu, dia jadi nggak bisa dengan mudah merasa puas.

Seperti sore ini misalnya. Di saat semua orang sudah memutuskan untuk kembali ke hunian ternyaman setelah seharian penuh menghabiskan waktu untuk berlatih, Odi masih bertahan seorang diri di sanggar seni untuk melatih vokalnya. Padahal, waktu sudah menunjukkan  pukul empat lebih.

Sekolah tentu saja sudah lengang, namun suara nyaring milik Odi, masih dengan begitu lembut mengalun memenuhi seisi sanggar bahkan hingga ke ruang-ruang di sekitarnya.

Satu-satunya hal yang akhirnya berhasil membuat Odi teringat untuk pulang ke rumah, hanya gelegar dari halilintar yang membuatnya terlonjak diiringi lampu yang tiba-tiba padam.

Pada akhirnya dia mengalah melawan egonya. Dia ajak kakinya melangkah keluar dari sanggar kesenian. Lalu dibuat sadar bahwa malam akan segera datang.

Hari sudah lumayan gelap. Ditambah mendung yang sepertinya siap menumpahkan hujan. Melodi, mempercepat langkah menuju kelas untuk mengambil tasnya yang masih tertinggal di sana sambil dia sempatkan membalas pesan singkat dari salah satu sahabat karibnya.

christopher koklebus🐶

|Kowe pulang jam berapa?

Ini mau pulang|

|Bareng pora?
|Aku di parkiran ki apene ngeeng

Odi mengalihkan pandang untuk sejenak, urung mengetikkan balasan sebab sebelah tangannya yang bebas harus membuka pintu ruang kelasnya yang sudah sepi.

Baru saja dia berniat kembali melirik ponselnya, namun lagi-lagi harus dia urungkan sebab perhatiannya keburu teralihkan begitu sudut matanya menangkap siluet Magenta, masih bertahan seorang diri di tempat duduknya. Seketika kernyit samar terbentuk di dahi Odi.

"Lho, Genta? Kok belum pulang?" tanyanya sambil melangkah mendekat. Minggu ini, secara kebetulan mereka mendapat giliran untuk duduk di bangku yang bersebelahan. Jujur saja, Melodi sangat bersyukur untuk itu, meskipun dia agak ragu bahwa Magenta merasakan hal yang sama dengannya.

"Mau hujan loh." Katanya lagi sebab Magenta sepertinya terlalu enggan menanggapi setiap sapaannya.

Odi terus melangkah. Semakin mendekat pada bangku di mana tasnya kini berada. Mendadak dia tersadar pada satu hal.

Ada yang nggak beres pada Magenta.

Dia menurunkan sedikit kelopak matanya supaya bisa menajamkan pandangannya karena kondisi ruang kelas yang semakin temaram.

Detik itu juga, gelenyar aneh yang membuatnya ketakutan seketika merambati tubuhnya. Dia gagal menepis rasa kalut yang menyeretnya dalam gelombang kepanikan.

Netranya kini menangkap dengan jelas, bagaimana Magenta, teman baiknya itu duduk di bangku paling sudut sambil menyeka darah yang mengalir deras dari hidung bangirnya.

magenta [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang