e m p a t

70 10 1
                                    

"Genta, aku datang!" Odi menyapa riang. Meletakkan buket bunga yang baru dibelinya di atas nakas sebelah tempat tidur Magenta.

"Tahu nggak ini siapa?" tanyanya sambil menunjuk diri sendiri dan mendekatkan wajahnya ke hadapan Magenta.

Laki-laki itu cuma mendengus sambil menahan tawa. Berusaha mengangkat tangannya yang terasa kebas demi mendorong wajah Odi yang seperti bernafsu ingin menerkamnya.

"Ini Odi! Melodinya Magenta!"

"Udah tau."

"Ih tumben nggak lupa sama aku?" ejeknya lalu memeluk tubuh Magenta hati-hati.

Tiga minggu setelah kejadian rusuh di kantor polisi kala itu, Magenta benar-benar mencapai batasnya. Kondisi tubuhnya menurun drastis. Terjadi kompilkasi serius sampai menyebabkan infeksi dan membuatnya nggak sadarkan diri hingga empat hari lamanya.

Tumbangnya Magenta sepertinya cukup menggugah kesadaran kedua orang tuanya, membuat mereka akhirnya tergerak untuk melihat sudah sejauh mana mereka meninggalkan putra yang masih mereka miliki ini. Perlahan namun pasti, mereka mulai menata kembali apa yang pernah mereka kacaukan, supaya bisa kembali rapi ditempat yang seharusnya.

Pun begitu dengan hubungan Odi dan Magenta. Jarak yang semula terbentang jauh, perlahan Odi hapus sedikit demi sedikit.

Gadis itu selalu datang menjaga Magenta. Nggak pernah absen barang sehari pun untuk menemani Magenta melawan kesakitannya. Sebab Odi pikir, hanya itu yang bisa dia lakukan buat berterima kasih karena Magenta masih bersedia untuk bertahan bersamanya. Hanya itu yang bisa dia lakukan sebagai ungkapan syukurnya sebab Tuhan masih memberinya waktu untuk memiliki Magenta sedikit lebih lama.

Bersyukurnya lagi, Magenta masih bersedia menghargai setiap usahanya untuk selalu menemani laki-laki itu memperbaiki diri. Hati Magenta yang sudah nyaris sekeras karang itu, luluh juga pada akhirnya. Mengembalikan lagi mereka seperti yang pernah ada.

Perlahan, Odi menarik dirinya kembali. Menatap manik Magenta yang kembali memancarkan sinarnya yang dulu.

"Belum." bisik Magenta.

"Hm?" Odi bertanya bingung.

"Peluk lagi. Kamu hari ini wangi. Aku pengen dipeluk lebih lama lagi."

"Manjanyaa. Pacar siapa sieee?" goda Melodi sambil kembali memeluk tubuh kurus Magenta.

"Bukan pacarnya siapa-siapa."

"Ish kan aku dilupain lagi!"

"Bukan dilupain, kamu mah emang cuma ngehalu doang jadi pacar aku." Ledek Magenta sambil terkekeh.

"Ck. Udah ah, kesel aku kalo nggak di akuin gini. Putus aja kita!"

"Jadian aja nggak pernah. Jangan suka ngibul kamu tuh! Kamu mah suka ngaku-ngaku pacarku kalau aku lagi nggak ngenalin kamu. Sekarang aku lagi seratus persen sadar ya kamu tuh siapa."

"Yaudah, mumpung kamu lagi seratus persen sadar, jadiin aku pacar kamu."

"Nggak mau."

"Kamu nolak aku?"

"Iya."

"Ya Tuhan. Gini ya pedihnya ditolak?"

Magenta terkekeh, sebelum pandangannya menangkap setetes merah menodai rambut panjang Melodi. Senyumnya seketika musnah.

"Odi." lirihnya.

"Hm?"

"Jangan marah ya?"

"Kenapa?"

"Aku mimisan di rambut kamu hehe."

Odi segera menarik diri. Bukan karena dia kesal sebab rambutnya terkena darah, tapi karena masih belum bisa menguasai diri setiap melihat darah yang mengucur dari hidung Magenta. Melodi selalu panik, padahal dia sudah berkali diminta untuk tetap tenang setiap menghadapi Magenta.

magenta [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang