Odi sadar betul bahwa ia adalah sosok yang penakut. Tapi dia baru tahu, bahwa dia bisa merasa takut hingga di titik di mana sekujur tubuhnya bergetar hebat sewaktu melihat tubuh Magenta meluruh ditinggal kesadarannya tepat di depan kedua matanya.
Daftar ketakutannya jadi bertambah panjang. Odi takut Magenta sakit. Takut Magenta terluka. Takut Magenta menderita karena sakitnya. Takut terjadi sesuatu yang buruk pada Magenta. Takut Magenta menyerah pada sakitnya. Takut Magenta pergi. Takut Magenta meninggalkannya.
Saking takutnya, Odi sampai enggan beranjak barang sejengkal pun dari sisi tempat tidur Magenta. Kedua matanya sedari tadi nggak pernah lepas memandangi wajah pucat Magenta yang tersembunyi di balik masker oksigennya. Bahkan untuk sekedar berkedip pun, rasanya Odi nggak rela. Dia takut Magenta tiba-tiba pergi saat dia sedang memejam walau hanya sepersekian detik.
Perlahan, Odi menggeser kursinya agar semakin mendekat. Membawa tangan kirinya yang masih gemetaran untuk mengusapi titik keringat di dahi Magenta. Lalu dengan hati-hati menyugar rambut legam laki-laki itu yang terasa begitu halus menyentuh jemarinya.
"Genta, ayo bangun.." bisiknya frustasi.
Sudah lebih dari dua jam sejak mereka tiba di rumah sakit dan Magenta belum juga membuka matanya. Odi jadi makin nggak tenang dibuatnya.
"Ayo bangun, aku pengen denger kamu marah-marah, pengen denger kamu ngomel kayak dulu." pintanya sambil mengeratkan genggaman pada jemari Magenta. Di pandanginya jemari kurus laki-laki itu. Dingin sekali. Meskipun sudah berusaha dia lingkupi dengan kedua tangannya. Jemari itu, rasanya tetap membeku.
Padahal dulu, dulu sekali, jemari itu selalu menggenggamnya dengan kehangatan yang selalu membuatnya nyaman. Entah kemana perginya kehangatan yang dulu selalu laki-laki ini miliki.
Detik berikutnya, Odi kembali mengangkat pandangannya. Menatap Magenta yang begitu damai dalam lelapnya. Sampai tanpa sadar, dia biarkan pikirannya berkelana kesana kemari supaya dia punya alasan, agar jangan dulu menyerah untuk menunggu kelopak itu kembali terbuka memamerkan netranya yang begitu indah.
"Odi udah siap?"
Senandung Melodia lebih dari satu dekade yang lalu hanya bisa menggeleng saat satu pertanyaan terlontar untuknya. Kedua tangan kecilnya yang saling bertaut di depan tubuhnya saling meremas meninggalkan jejak kemerahan pada kulitnya yang seputih salju.
Odi sudah hampir menangis. Saking gugupnya melihat semua kursi di gereja hari ini terisi penuh oleh para jemaat, Odi langsung ketakutan. Dia ingin mundur. Nggak lagi berselera bernyanyi bersama teman-teman paduan suara lainnya. Odi takut.
"Odi kenapa?"
"....takut." bisiknya sengaja melirih. Sebab ada juga rasa malu bila yang lainnya sampai tahu bahwa dia sedang sangat takut.
"Sini aku gandeng."
Odi mengerjap dua kali. Memandang sejenak tangan kecil yang terulur menawarkan kehangatan. Lalu seperti tersihir, jemari Odi terangkat dengan sendirinya. Menyambut kekuatan yang disalurkan lewat hangatnya jemari bocah di sebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
magenta [✔]
Fanfiction"kamu tau nggak, kenapa yogya bisa sehangat senja dengan suasana yang selalu romantis?" "kenapa emang?" "karena Tuhan ciptakan yogya saat Dia sedang jatuh cinta." diantara hangatnya semilir angin senja kala itu, senyum melodi justru memudar. "maaf...