Suara deru kendaraan terdengar dari segala arah. Meski kegelapan menghantui diriku, kakiku terasa tau ke arah mana aku harus pergi. Bukan mendekati suara deru kendaraan yang ada, namun menjauh. Menjauh dari semua suara yang ada dan menuju sebuah tempat yang sepi, tak ada tanda ada orang yang menginjakkan kaki ke sana.
Dalam kegelapan di lorong itu, suara bisikkan dapat terdengar. Bisikkan yang seperti rapalan mantra, sebuah kutukan, cacian dan makian orang yang ditujukan kepadaku. Mendengarnya saja membuat telingaku terasa berdengung. Kenapa? Apa yang mereka katakan? Kenapa mereka mengatakan itu? Apa perbuatan salahku kepada mereka?
Semua bisikan, teriakan, omongan itu tidak kunjung menghilang. Hingga sebuah tangan yang hangat menggenggam milikku. Kondisi yang semula gelap gulita menjadi terang, layaknya matahari yang terbit, menyinari seluruh penjuru dunia. Orang yang menggenggam tanganku itu menunjukkan pancaran cahaya yang begitu terang hingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Satu hal yang pasti dari dirinya, dia terlihat seperti malaikat yang menyelamatkan umat manusia.
"Pegang tanganku erat, jangan lepaskan, mengerti?" Suaranya yang terdengar sangat manis bagai alunan musik di telingaku. Sebuah perasaan familiar pecah di dalam diriku, meyakinkan diri ini kalau aku mengenal anak di hadapanku ini. Suara tenornya yang menenangkan mengukir senyum di bibirku.
"Jangan pernah tinggalkan aku," bisikku, takut mengeluarkan suara yang keras.
"Tidak akan pernah." Semenjak kedatangan anak ini, aku baru menyadarinya kalau bisikkan-bisikkan itu telah menghilang tanpa bekas. Bukannya aku tidak bersyukur, aku merasa bahwa anak di hadapanku ini adalah sesuatu, sesuatu yang akan membuka tabir masa depanku.
Dengan tangan yang saling bertautan satu sama lain, dia menarikku dengan lembut untuk berlari bersamanya. Saling berdampingan kami keluar, entah ke mana kami akan pergi, tapi aku akan percaya sepenuhnya kepada anak ini. Aku akan sepenuhnya menyetujui apa pun keputusan yang dia ambil, sekali pun dia tidak bertanya kepadaku untuk meminta perizinan. Karena aku tau, dia tidak akan pernah membuatku terluka.
Setelah banyak tikungan kami lewati--ke kanan dan ke kiri--semua belokan kami lewati, lorong yang semula gelap menjadi gemerlap-redup, kami masih belum menemukan ujung dari tempat ini. Teriakan-teriakan yang lantang, berbeda dengan bisikkan yang semula, mulai terdengar dari belakang kami. Suara senjata api yang ditembakkan memekakkan telinga dalam lorong sempit yang menggema setiap suara gang ada. Ketakutanku membuat diri ini menatap ke belakang, terlihat sebuah bullet siap menuju kami.
Bullet yang ada datang kepada kami dalam gerakan yang lama, cukup lama hingga aku bisa mengubah posisiku untuk menghindari peluru itu. Anak yang di depanku juga sepertinya menyadari apa yang baru saja terjadi sehingga dia tersenyum lebar, senyuman yang kembali membuat ruangan ini terang kembali. Sinar yang dia pancarkan itu berhasil membutakan siapa pun yang mengejar kami. Teriakan kesakitan dapat terdengar di belakang kami, sebuah senyum kemenangan terukir di bibir anak di hadapanku.
"Kita akan segera keluar dari sini, kau tidak perlu khawatir." Apakah aku khawatir? Jawabannya adalah tidak. Dengan adanya anak tanpa nama di hadapanku, semua ketakutan, rasa khawatirku hilang begitu saja. Dengan adanya dia bersamaku, aku bisa merasa tenang.
"Terima kasih, atas semuanya."
"Jangan terlalu formal, ini adalah tugasku!"
"Tentu," kekehku. Semua yang kuucapkan barusan tidak seperti apa yang aku inginkan sama sekali. "Saat kita keluar nanti, mari kita pergi bersama-sama. Kita nikmati matahari bersama-sama."
"Aku akan menantikannya."
🧬💉🧬
28/08/2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Stoicheiódis
FantasyAurora yang memulai semester barunya di kampus harus bertemu kembali dengan seseorang yang ingin dia jauhi, Icarus sang kakak kelas di masa SMA. Perjumpaan yang terjadi kembali ini sama sekali tidak membawa kebahagiaan kepada Aurora, justru dia mend...