TUJUH

32 14 1
                                    

Nadeya memasuki rumah sambil menenteng beberapa paper bag di tangannya.

"Nadeya..." Arya yang memang sedang menunggu kedatangan Nadeya di ruang tamu memperhatikan anak perempuannya itu.

Arya menghela napas lelah dan memijit keningnya ketika melihat Nadeya yang lagi-lagi berbelanja.

"Papi..." Nadeya tersenyum manis dan menghampiri Arya.

"Katanya Papi mau dinas keluar negeri, kok belum pergi?"

"Papi berangkatnya besok pagi, kamu belanja lagi?"

Nadeya mengangkat bahunya dan meletakan paper bag yang dibawanya di lantai, "ya habisnya Deya bosan Pi, di sekolah banyak banget yang ngikutin gaya Deya, masa Deya mau pakai barang yang sama kayak mereka di sekolah, kan pasaran banget."

Arya hanya diam tidak membalas perkataan Nadeya, ini akibatnya jika terlalu memanjakan anak, ditambah lagi istrinya memang selalu memperlakukan Nadeya seperti ratu, apa yang dipakainya harus barang mewah, barang mahal, bahkan barang yang limited edition.

"Duduk dulu disini," Arya menepuk kursi di sampingnya.

Nadeya mengangguk, lalu memanggil maid yang ada di rumahnya untuk membawakan barang belanjaan ke kamarnya.

"Ada apa Pi? Tumben banget Papi ngajak Deya ngomong di rumah, Papi kan jarang di rumah, bahkan nelfon Deya aja jarang," Nadeya duduk di samping Arya.

Arya terdiam, dia mencoba merangkai kata yang pas di kepalanya sebelum disampaikan langsung kepada Nadeya. Dia tau, topik pembicaraan yang akan dia sampaikan agak sedikit sensitif bagi Nadeya.

"Kamu di sekolah baik-baik aja Deya?" Arya bertanya lembut, sedikit memancing Nadeya.

Nadeya menatap Papinya bingung, "baik-baik aja kok Pi, ada apa sih Pi?"

Arya kembali menghela napas, "kamu jahatin Afarani di sekolah?"

Nadeya terdiam, mendengar nama Afarani disebut oleh Papinya membuat tubuhnya seketika gemetar, jantungnya juga terasa berdetak lebih cepat, wajahnya memerah menahan amarah.

"Kenapa Papi nanya gitu ke Deya? Pasti Afarani ngadu yang macam-macam ke Papi," suara Nadeya sedikit gemetar.

Arya menatap Nadeya, dia tau Nadeya sedang menahan amarah ketika nama Afarani disebut, dia juga tau kalau Nadeya dari dulu memang tidak suka dengan Afarani, tapi dia tidak menyangka Nadeya sampai tega membully Afarani yang merupakan adik kandung beda ibu bagi Nadeya.

"Afa itu adik kamu Deya, seharusnya kamu akrab sama dia di sekolah, bukan malah ngebully dia,"

"Adik? Aku gak pernah punya adik Pi," nada suara Nadeya tajam.

"Kamu yang lebih dewasa dari Afa, harusnya sebagai kakak kamu kasih contoh yang baik, bukannya bersikap memalukan begini," Arya meninggikan nada bicaranya.

Nadeya menatap Papinya tidak percaya, seumur-umur Papinya tidak pernah berbicara dengan meninggikan suara seperti itu kepadanya.

"Jadi Papi manggil Deya cuma mau ngomongin masalah Afarani?" Nadeya tersenyum sinis.

"Mulai besok kamu harus perlakukan Afarani seperti adik kamu sendiri, kamu berteman sama dia, jangan jahatin dia lagi."

Nadeya berdiri, "Deya bilang Deya gak punya adik Pi, apalagi anak dari pelakor itu!"

Plak.

Mata Nadeya terbelalak tidak percaya, secara refleks Nadeya memegangi pipi kirinya yang ditampar Arya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

PEDIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang