5

33 6 0
                                    

Selamat sore, dan selamat membaca.
Jangan lupa vote!!

***

Suara ayam milik tetangga sebelah terdengar begitu nyaring saat jam sudah menunjukkan pukul enam lewat lima menit. Cowok dengan balutan baju tidur berwarna hitam masih setia dalam tidur. Seluruh tubuhnya masih tertutup oleh selimut. Badannya meringkuk sembari memeluk guling. Alarm yang terus berbunyi tidak ia indahkan sama sekali. Tidurnya sangat nyenyak. Sayang jika harus terbangun hanya karena alarm sialan yang tidak kunjung berhenti.

Tiba-tiba tepukan dibahu terasa. Yang semulanya sangat pelan. Kini berganti dengan cukup keras dengan menggoyangkan tubuh.

"Akra, bangun, Nak. Kita sarapan bareng dulu sebelum ayah sama bunda pergi kerja," Liona dengan sabar mengusap pipi Akra.

Hanya saja, bukannya menjauhkan selimut, Akra malah semakin menarik selimut itu. Cowok itu juga mengeluarkan lengannya dari balik selimut. Menunjukkan kelima jarinya kehadapan Liona. "Lima menit lagi, Bun. Akra masih ngantuk."

"Nggak ada. Kalau nunggu lima menit keburu telat ayah sama bunda. Ayo, Kak, bangun. Bunda mau bangunin Aksa juga. Jadi kamu bangun, ya?" pinta Liona pada anaknya yang tidak kunjung keluar dari tempat persembunyian.

"Oke."

"Bagus," cetus Liona mendengar jawaban dari anaknya. Wanita yang masih muda itu berdiri dari duduknya untuk keluar dari kamar Akra dan gantian untuk masuk kedalam kamar Aksa. Meskipun bisa disebut sangat berkecukupan, tapi Liona enggan untuk menggunakan jasa art. Beliau masih sangat bisa mengurus kedua anaknya setiap hari, dan setiap pagi dan sore memasak untuk makan keluarga. Meskipun cukup lelah karena ditambah bekerja juga. Tapi setidaknya ia menjadi saksi pertumbuhan kedua anaknya tanpa bantuan orang lain.

"Aksa, bangun, Sa," ujar Liona menggoyangkan tubuh Aksa. Berbeda dengan Akra yang menggunakan jam untuk membangunkan, Aksa tidak memiliki itu. Kata Aksa, buat apa pelihara benda pengganggu.

Anaknya yang satu ini memang lebih kebo. Karena sering tidur larut malam. Kenapa Liona tahu? Terlihat dari kelopak mata Aksa yang hitam.

"Kamu jarang ikut makan bareng, lho, Sa. Suka banget telat bangun, pas bangun bukan makan dirumah malah makan diluar. Jangan pikir bunda gak tau kelakuan kamu kayak gimana. Sa, bangun atau uang jajan kamu bunda kasih diskon potongan delapan puluh persen," ancam Liona yang langsung mendapatkan balasan dari Aksa yang langsung terbangun.

Dengan mata yang masih menyipit dan kepala sedikit pusing, Aksa berusaha duduk dengan tegap. "Bunda mah gitu. Ngancemnya uang jajan mulu. Sehari Aksa cuman dikasih lima puluh ribu. Kalau dipotong delapan puluh persen berarti cuman sepuluh ribu dong? Itu duit segitu cukup buat apa, Bunda? Bensin aja cuma seliter, sisanya beli permen. Masa anak SMA kelakuannya ngemut permen," omel Aksa. Padahal itu matanya masih merem. Tapi bisa-bisanya ia mikir.

"Kalau gitu cepetan mandi, terus turun kebawah. Kita makan bareng."

"Gak usah mandi, deh. Cuci muka aja dulu. Lagian sepagi ini Aksa gak bakal pergi kemana-mana."

"Terserah kamu," ucap Liona pasrah.

***

Sara termenung, diam membisu tanpa tahu untuk berkata apa. Handphone yang tengah ia genggam tanpa henti terus bergetar. Tiga detik setelah mati, maka akan nyala kembali. Bertahun lamanya ia coba menghubungi, tapi tak pernah ada jawaban. Hingga pagi ini ia dibuat heran oleh telepon masuk.

Nomor yang ia kira sudah tidak dipergunakan lagi kembali menyapa. Dengan masih dalam keterkejutannya, Sara menggeser ikon merah untuk menolak. Bukannya tidak rindu, hanya saja Sara tidak mau terluka kembali.

AKSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang