10

27 7 0
                                    

Happy Reading♡

***

Pagi sekali Jay sudah datang kembali kerumah Sara. Semalam dia lebih memilih pulang. Tidak baik tinggal satu atap dengan perempuan yang bukan mahram. Jay datang membawa dua besek bubur ayam untuk ia berikan pada Sara satunya.

Gadis itu tengah duduk di teras rumah masih mengenakan piyama tidur. Memutar handphone dengan matanya yang menatap lingkungan sekitar rumah. Banyak sekali perubahan yang terlihat sangat jelas.

Dimulai dari pohon besar yang kini sudah tidak ada. Lalu diseberang rumah ada lapangan besar yang entah digunakan untuk apa. Dan yang terlihat sangat jelas rumah disamping Sara kini berganti dengan toko besar.

"Anak perawan jam segini masih pakai baju tidur. Pasti belum mandi, ya?" tanya Jay meledek. Menghancurkan lamunan Sara.

"Assalamualaikum dulu, Jay, kalau dateng rumah orang. Kebiasaan, nih. Ku laporin sama Tante Via tau rasa!"

"Dih, udah gede masih ngadu," cibirnya. "Iya, waalaikumsalam."

Karena Sara tahu bubur ayam yang dibawa Jay untuknya, Sara langsung mengambil salah satunya tanpa bicara. Mood nya pagi ini sudah baik. Lagipula tidak baik menyimpan kesedihan begitu lama. Ia ingin coba untuk belajar mengikhlaskan. Karena menangis pun tidak bisa mengembalikan Yuni.

"Sar, tinggal di Jakarta enak gak? Kalau enak aku mau ikut pindah."

"Mau ikut pindah?" tanya Sara mengulang. Sedangkan Jay mengangguk menjawab. "Yaudah, aku jawab gak enak. Biar kamu gak ngikut!"

Kalau sedih kasian, tapi kalau lagi bahagia nyebelin. Pikir Jay. "Jahat!"

Sara terkekeh. "Ya, lagian ngapain si ikut ke Jakarta segala? Udahlah disini aja. Kayaknya kalau udah lulus sekolah disana aku bakal balik lagi kesini. Atau pas kenaikan kelas nanti kalau perlu. Biar aku bisa jagain kakek disini."

"Bagus. Gitu, dong, biar aku ada temen yang gila kayak kamu," ujar Jay.

Karena didalam mulutnya ada bubur yang sedang ia makan, Sara hanya mengangkat satu jempol kanannya saja.

"Sar," panggil Jay.

"Hm."

"Semalem orang tua kamu ke rumah kakek."

Sara berhenti mengunyah. Menatap Jay tidak percaya. Selama beberapa detik ia terdiam terpaku. Kalau memang iya, mengapa ia tidak melihat atau merasakan kehadiran mereka dirumah ini? Ini rumah mereka. Bukankah seharusnya mereka juga pulang kesini?

"Dirumah kakek semalem ribut gara-gara mamah kamu langsung pulang beberapa menit setelah datang. Dia ribut sama Tante Naya," jelas Jay melanjutkan.

"Kamu liat mereka, Jay?"

Jay menggeleng. "Nggak, itu aku diceritain sama Arian. Dia yang liat."

Kedua bahu Sara merosot lemas. Kalau tahu kejadiannya akan seperti itu, ia menyesal harus pulang semalam. Kalau saja ia tetap tinggal disana, mungkin akan ada kesempatan ia melihat sang ibu dan ayah.

"Sar," panggil Jay merasa sepupunya itu tidak baik-baik saja. "Perlahan, kubur, ya, rasa ingin ketemu. Karena semakin kamu berharap, malah semakin sakit. Kata Arian, kemarin mereka datang dalam keadaan baik-baik aja. Sedangkan kamu disini? Banyak perubahan, Sar. Kamu udah kehilangan diri kamu sendiri."

Mengenal Sara sedari kecil, Jay sangat tahu bagaimana karakter Sara. Hingga kedua orang tua Sara pergi, kebahagiaan Sara pun ikut pergi. Sara menjadi gadis pendiam yang kurang bersosialisasi. Ekspresi bahagia anak itu hanya akan ditujukan untuk orang-orang yang ia kenal saja. Berbeda dengan dulu, dimana gadis itu selalu menebar senyuman kepada siapapun.

AKSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang