8

24 7 0
                                    

Halloowww, happy reading. Jangan lupa vote dan komen!!!

***

"ADA SIAPA, JAY?!!!" Teriakan dari dalam rumah sontak membuat semua yang ada didepan pintu menoleh kedalam.

"ADA TAMU KAMU, NIH, SAR!" balas Jay ikut berteriak. Disusul suara Sara yang terburu-buru keluar dari kamarnya.

Saat melihat tiga orang yang tidak asing bagi Sara, gadis itu terdiam. Kedatangan mereka benar-benar tidak terduga bagi Sara. Apalagi ada dua orang laki-laki yang tak dikenal berdiri disana. Ia hanya tahu wajah mereka, tapi tidak dengan namanya. Kecuali bi Mumun, pak Maman, dan juga Aksa yang sudah ia kenal.

"Neng, bi Mumun turut berduka cita, ya," ucap bi Mumun dengan senyum getir. Ia melihat wajah Sara yang tidak memiliki semangat seperti biasanya. Ditambah mata lelahnya yang menandakan gadis itu kurang istirahat dan terlalu banyak mengeluarkan air mata.

"Makasih banyak, ya, Bi," balas Sara memaksakan senyum tulus. "Ayo masuk dulu. Gak enak kalau cuman berdiri didepan rumah." Sara berjalan lebih dulu, diikuti Jay, dan dibelakang para tamu juga mengikuti. Membawa mereka kedalam ruang tamu yang luasnya tidak terlalu besar.

Sebagian kursi didalam rumah dikeluarkan karena sebelum pemakaman banyak tetangga yang mengaji lebih dulu. Membuat Damar, Ben, dan juga Aksa terpaksa duduk dibawah karena harus mengalah.

Sara mengambilkan lima air gelas untuk mereka satu persatu. Lalu saat memberikan pada Aksa, entahlah rasanya menjadi tidak karuan. Merasa senang karena kedatangannya.

"Makasih," gumam Aksa pada Sara dengan suara pelan karena malu jika terdengar yang lain. Sara yang mendengarnya hanya tersenyum singkat.

Oh shit. Kenapa dia manis banget kalau senyum? Pikir Aksa.

Keadaan rumah tampak masih sepi, sama halnya dengan diluar. Tetangga seolah mengerti dengan tidak membuat kegaduhan disekitar rumah duka. Saudara yang masih mengaji di pemakaman belum pulang juga.

"Makasih banyak, ya, Bi, Pak, semuanya. Udah mau datang kesini jauh-jauh dari Jakarta," ucap Sara sebagai pembuka ditengah heningnya keadaan.

Bi Mumun mengangguk membalas. "Neng Sara bukan cuman sekedar anak sekolah yang ngekos ditempat saya. Tapi Neng Sara udah saya anggap anak saya. Jadi sewaktu dapet kabar duka saya langsung datang kesini," jelas bi Mumun.

"Jadi ini alesan lo tiba-tiba pulang ke Sukabumi? Karena nenek lo sakit?" tanya Aksa tak tahan. Ia juga ingin ikut dalam lingkar pembicaraan bersama Sara.

Kini Sara menggeleng lemah. "Bukan. Bahkan awalnya gue gak tau kalau nenek itu lagi sakit. Gue pulang ke rumah gue, dan dapet kabar kalau Nenek sakit itu malamnya. Gue pulang kesini, tapi ...," Sara menggantung ucapannya. Penyesalan yang ia rasakan semalam, kini muncul kembali. Tangannya sudah digenggam dan dielus dengan lembut oleh Jay. Laki-laki itu sangat peka dengan keadaan Sara sekarang. Jelas saja, ia hidup bersama Sara bukan dengan waktu yang sebentar. "Nenek udah gak ada," lanjutnya pelan, bahkan sangat pelan.

"Udah. Kalau gak bisa gak usah," bisik Jay. Agar tamu yang tidak ia kenal itu tidak merasa tersinggung.

Aksa yang melihat itu merasa panas hatinya. Bisa-bisanya laki-laki itu dengan leluasa berbicara sedekat itu dengan Sara. Bahkan, tangan Jay leluasa memegang tangan Sara. Memang mereka sepupuan, tapi bisakah lebih berjarak sedikit? Andai saja Aksa tidak tahu diri, sudah ingin Aksa tonjok itu muka Jay yang memang ganteng.

"Neng Sara kalau mau istirahat, sok istirahat aja. Jangan karena kita Neng Sara diem disini. Kita bakal nunggu kok. Di Jakarta juga lagi gak ada urusan," ucap Pak Maman disetujui semuanya, terkecuali Aksa dan Sara.

AKSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang