HARI YANG MEMBOSANKAN

27 5 9
                                    

Happy reading

Dunia sedang menjalani aktivitas rutinnya setiap hari. Tanpa mengenal lelah dan letih semua dijalani dengan seksama tanpa tahu malam dan siang. Sama seperti hari-hari sebelumnya dengan aktivitas tanpa henti yang selalu diulang setiap waktunya. Dalam dunia ini semua bekerja tanpa mengenal apapun meski begitu semua pandai dalam memasang reputasi untuk diri mereka.

Tidak banyak seperti manusia manusia lainnya kini dalam satu ruang yang hanya diisi oleh dua orang dengan penampilan berbeda. Satu ruang yang penuh dengan segala keajaiban baik yang masih tersembunyi ataupun yang disembunyikan. Sepanjang jalan hanya ditemui warna monokrom classic yang sudah menjadi warna kesehariannya namun bukan warna favoritnya.

Melangkah lebar mengelilingi ruang luas untuk menelusuri atau hanya sekedar memanjakan mata. "Sudah sampai? Kemarilah ingin sesuatu?" Dia tersenyum namun tidak untukku karena itu hanya formalitas belaka aku mengetahuinya dari wajah keriputnya. "Tidak terimakasih, setelah ini aku harus pergi bisa kita selesaikan segera?" Dia mengangguk kemudian mempersilahkan duduk di kursi sofa khusus berhadapan dengannya.

Mengamati orang-orang adalah satu dari banyak hal yang kusukai. Seakan menganalisis mereka atau sekedar bingung karena ingin melihat apa yang jelas satu hal utama yang kusukai selain cermin pemberian ibu adalah mata mereka. Apalagi anak kecil atau balita, melihat bagaimana binar lucu dan mata jernih tanpa sedikitpun ada buram mata. Seiring tumbuhnya menjadi dewasa membuat beberapa mata mereka tidak jernih lagi, entah apapun alasannya yang jelas mata manusia tidak akan jernih seperti awal manusia membuka mata.

Dan itu terlihat di dua bola matanya yang saat ini berada di hadapanku. Duduk rapi dengan pena dan buku jurnal yang kutahu apa itu isinya, pastinya bukan tentang keadan psikis apapun melainkan hal lain yang menurut nalar umum tidak masuk akal. "Kalau begitu aku tidak ingin berbasa-basi ini menyangkut bagaimana aku akan hidup di kehidupan selanjutnya dan sekali lagi aku minta maaf karena tidak bisa membantu banyak."

"Tidak apa, jadi bagaimana?" Aku bertanya tentang bagaimana riset mereka tentang semua yang kualami dari usia dini. Dan kukatakan sekali lagi ini bukan menyangkut tentang mental namun ini menyangkut lebih dari itu. "Kau akan tinggal di gedung U.tara tepat sebelah barat daya tempat ini mungkin kau pernah melihatnya atau merasakannya? Yang jelas akan ada pengawasan untuk semua manusia disana dan ini bukan menyangkut tentang mitologi apapun ini menyangkut siapa atau apa dirimu yang sebenarnya."

"Lusa kau bisa pergi, namun tetap berhati-hati karena kamu bukan kamu atau aku bukan aku." Nafasku tiba-tiba terasa berat seakan ada sesuatu yang mendorong untuk muncul namun kucoba untuk menahan sebisa mungkin.

"Sampai kapan ini akan berakhir? Aku pikir ini hanyalah hal biasa namun nyatanya?"

"Aku tahu maksudmu namun kau tahu kita hanyalah subjek dan objek yang akan berada di awal atau diakhir kalimat. Subjek dan objek membutuhkan predikat sehingga akan membentuk suatu kalimat utuh dengan keterangan sebagai bumbu tambahan dan ini seperti manusia contohnya dirimu, kau bisa mengetahui sisi lain yang seharusnya tersembunyi tidak berwujud bahkan bertemu dan menjadi teman dengan media sebuah cermin namun tidak banyak yang tahu dia ada hanya kau dan dia yang belum tahu siapa yang benar-benar baik dan jahat."

"Aku mengerti tentang hal ini namun jika benar subjek dan objek membutuhkan predikat agar menjadi kalimat utuh bukankah aku sudah mendapatkannya? Aku, dia, dan cermin ini seperti kesatuan bukan?"

"Jika kau berpikir demikian maka akan kukatakan ini tidak sesederhana itu, aku cermin dia dan dia cermin aku kau hanya cerminannya dan dia hanya cerminanmu yang artinya kalian adalah sama-sama bayangan semu seperti bagaimana matahari menyinari manusia sehingga dia memiliki bayangan yang berlawanan arah dengan matahari."

"Tapi aku tidak memiliki bayangan yang kau maksud, setiap kali matahari bersinar aku tidak dapat menemukan bayanganku."

"Karena bayangamu sudah berwujud dan dia selalu bersamamu bahkan menjadi temanmu, kau hanya memiliki pantulan di cermin namun tidak dengan bayangan saat matahari bersinar dan kau bisa melihatnya dicermin yang ia lewati lalu kembali kedalam rumahnya yaitu cermin pemberian ibumu."

Ini benar adanya. Aku tidak mengerti kenapa semua orang memiliki bayangan namun aku tidak dan hanya punya pantulan diri di cermin. Apa aku manusia atau bukan? Tapi jika manusia kenapa pantulan diri muncul sedangkan bayangan tidak.

"Aku tahu kau merasa gelisah maka pihak kami ingin kau pergi kesana, menjalani kehidupan seperti biasa namun dengan menjalani berbagai tes untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya."

"Kurang lebih aku menjadi objek percobaan?"

"Itu adalah kata kasarnya." Baiklah sepertinya tidak ada yang bisa kulakukan, meski ada sedikit rasa kesal namun mau bagaimana lagi? Aku harus segera mengetahui siapa aku dan siapa dia agar tahu siapa diantara kami yang menjadi sisi baik dan jahat. Selama aku berpikir aku baru tersadar kalau ada sesuatu di atas pangkuanku, dengan bingung aku lihat dia yang masih tersenyum hampa menatap tulisan dibuku jurnalnya.

Jujur ini baru awal aku melihatnya tersenyum seperti itu, karena pada dasarnya dia akan selalu tersenyum dengan mata intimidasinya tanpa ada rasa hampa sedikitpun. "Itu undangan serta informasi untukmu disana, kau akan diberi sebuah kartu khusus untuk membeli, menyimpan, atau mengirim uang dalam jumlah apapun. Gunakan dengan baik karena disana tidak sama dengan disini."

Dia berkata begitu lirih seakan ada sesuatu yang dirasa seperti mengganggu namun tidak pernah diungkapkan. Aku menatapnya lebih tepatnya menelusuri kedua bola mata yang terlihat buram itu, menatap bagaimana mata yang mengintimidasi pada saat awal pertemuan yang kini hanya terlihat sedikit getaran disana. Ah... sepertinya dia ingin menangis. Aku berjalan mendekat kemudian berjongkok didepannya dengan usapan menenangkan dan tersenyum lembut.

Hanya ini yang bisa kulakukan untuk saat ini. Melihat ia menangis diam membuat rasa empati memanggilku karena aku tahu dia tidak akan hidup lebih lama mengingat bagaimana umur yang terus memakannya dan juga tuntutan yang memang sudah ditanggung untuk membantuku secara suka rela. Mungkin sudah saatnya dia melepas semua yang dimiliki karena tanggung jawabnya sudah selesai dan ini adalah waktunya untuk pergi kehidupan selanjutnya.

Mau bagaimana lagi, semua yang ingin membantu manusia seperti diriku harus menerima konsekuensinya entah dalam bentuk apapun. Sangat sulit menjadi berbeda karena semua memiliki resiko yang terkadang orang luar ikut menanggungnya dan hanya ucapan maaf juga terimakasih yang mereka terima dari kami.

13 Oktober MMXXI

Aku tidak bisa menyangkal untuk memberitahu apa yang terjadi. Namun ada satu hal yang sudah kuketahui, jika benar aku membutuhkan predikat maka seperti apa bentuknya? Jika media bukankah itu cermin? Lalu kenapa aku harus pergi ke gedung U.tara yang sebenarnya tidak diketahui siapapun tempatnya. Tapi kenapa aku bisa merasakannya?

Yah...meski membosankan namun ini adalah hari yang berat. Seseorang yang membantuku (lagi) akan pergi jauh dan tidak akan pernah aku bertemu dengannya. Aku berterimakasih dan maaf (lagi) untuk kesekian kalinya karena resiko yang ada, aku akan berjuang mencari sesuatu tentang diriku yang sebenarnya.

Dan sejatinya aku tidak peduli lagi tentang semua ini karena bagiku ini normal dan dia tidak berniat jahat sedikitpun malah ingin menemaniku disaat apapun yang terjadi. Ngomong-ngomong soal dia, aku bertanya-tanya dimana dia sekarang? Apa mungkin masih tidur? Aku harap begitu karena sesaat sampai dirumah aku akan menceritakan ini semua kepadanya.

Hari yang membosankan dengan berbagai untaian-untaian kebingungan.

★★★

TBC...

ianapublisher

Diary Of Me: MIRRORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang