Dia masih di sana.
Di tengah hujan deras yang melanda kota Tokyo. Ia masih setia berdiri di sana. Di bawah payung yang sekadar melindungi tubuh ringkihnya dari guyuran air hujan.
Orang-orang sudah pergi atau barangkali meneduh di beberapa atap toko-toko yang mulai tutup menjelang larut malam. Namun, alih-alih ikut membawa diri pulang tuk menghangatkan badan atau sesegera mungkin berlindung dari ganasnya suhu yang kian menurun, ia tetap kukuh berdiri di pinggir trotoar tepat di samping sebuah tempat sampah umum.
Membiarkan hawa dingin merujam perlahan memasuki tubuh. Hingga rasa gigil kini mulai merasuki diri dan menguasai seluruh jiwa.
Ia tetap menanti sendirian.
Dengan tatapan sayu yang perlahan digantikan lelehan panas dari kedua mata yang sudah menggenang. Lelehan itu nyaris jatuh tatkala dirinya berkedip dua kali ketika lampu jalan turut berkedip pula tiap beberapa detik sekali.
"Huh ...,"
Uap dingin tertiup dari mulutnya yang sedikit menggigil. Ia tetap berdiri. Kendati sendirian. Kendati kesepian. Kendati seluruh tubuh mulai tak lagi dapat dibuat bertahan. Ia tetap menopang asa dan berteguh hati untuk tetap berdiri menanti sang pujaan.
Menunggunya kembali pulang.
Menunggu.
Menunggu tanpa tahu sampai kapan hal itu akan menjadi sesuatu yang begitu telah ia rindukan.
Bip.
Denyar klakson yang mengudara agaknya sedikit mengalihkan atensinya untuk segera menoleh pada sumber suara.
Ia mengembuskan napas sesaknya setelah tak mendapati apa-apa dan kembali pada harapan semu. Menatap kosong pada genangan yang dapat merefleksikan wajah serta jiwanya yang hampa.
Perlahan dua kelopak itu terpejam. Sepertinya sudah tak kuat lagi untuk dibuat menahan asa yang sulit terlupakan. Hingga lelehan panas itu mengalir dan jatuh ke tanah yang basah.
Sungguh menyedihkan.
Dari jauh, seseorang berteriak kepayahan. Suaranya teredam oleh angin dan ganasnya hujan. Dengan getir perlahan mendekat agar dapat menyampaikan suara khawatirnya pada seorang gadis yang masih diam di pinggir jalan tanpa teman dan ... tanpa kepastian.
"Sarada." Suaranya menggigil, berusaha memanggil dengan gusar.
Gadis itu menoleh sejemang, kemudian langsung memalingkan wajah kembali dan serta-merta meluncurkan sebuah kalimat dingin dari tenggorokannya yang kering.
"Mengapa kau ke sini? Sudah kubilang jangan pedulikan aku, bukan? Kau payah, Kawaki."
Pemuda bernama Kawaki itu menatap Sarada tak percaya, napasnya masih tersengal sebab berlarian di tengah hujan tanpa pelindung sama sekali. Kelopaknya ia pejam sambil berusaha semaksimal mungkin agar tetap bersabar.
"Ayo pulang." katanya, berharap amat dalam.
Sarada kembali mengembuskan napas berat. Kali ini disertai dengan rasa kesal yang membuncah dalam dada. "Pergi." bisiknya.
"Sarada ...,"
"KUBILANG PERGI!"
Kawaki bergeming. Dengan napas yang putus-putus, Sarada langsung menekan dadanya yang hendak maju mendekat. Gadis itu menahan pergerakan Kawaki agar tetap diam di tempat.
"Pergi dari sini, atau setidaknya ... biarkan aku di sini menunggunya kembali dengan tenang." lirih Sarada.
Kawaki menatapnya amat dalam. Gadis itu masih mencintainya. Bodoh jika ia terus-terusan mengejar dan berharap untuknya, kendati ia tahu kalau Sarada tak akan pernah melupakan Boruto, suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
COLORS ~Kumpulan Cerpen BoruSara~
Fanfiction🌹Kumpulan Oneshot, Twoshot, dan Threeshot BoruSara🔩🥗 Latar : Canon, Modern, Fantasy, dll ⚠Beberapa cerpen terdiri atas cerita berbasis 18+ *Tidak semua, hanya mengingatkan agar lebih bijak dalam memilih bacaan yang tepat. Highest Rank : #3 in Bo...