Il Pleut Devant Le Ćafe [2/4]

274 32 67
                                    

Aku salah, aku tahu itu.

Tentu saja. Melewatkan waktu bekerja dan malah bersantai minum kopi sambil memandangi hujan dan mendengarkan musik kafe adalah sebuah kesalahan.

Apalagi berpikir bahwa menilik kisah seseorang dan membuat rencana untuk mencaritahu segalanya benar-benar sungguh keterlaluan. Ya, aku salah. Dan sekarang aku benar-benar menyesalinya. Sambil menggigit bibir bawah menahan tangis yang sejak tadi terus-terusan memaksa keluar, aku hanya dapat memandangi meja dengan secangkir kopi dingin di atasnya.

Oh, ayolah, aku tak menyentuhnya sejak kopi itu disajikan oleh Inojin. Aku memesan hanya agar tidak diusir. Formalitas. Tetapi jika pikiranku nanti menjadi lebih baik, tentu aku tetap akan meminumnya. Aku membelinya dengan uang, dan aku tak tahu lagi akan dapat dari mana benda bernama uang itu setelah mendengar ungkapan bosku dengan suara-yang entah kenapa sulit dipercaya-yang amat pelan namun cukup untuk membunuhku karena pada akhirnya aku kini tak lagi memiliki pekerjaan sejak kemarin.

Ya, aku dipecat.

Hebat, bukan?

Hanya karena terlalu lama berdiam diri di kafe dan larut pada euforia penuh ketenangan batin ini malah membuatku ditendang dari perusahaan. Padahal, niat awalku pun bertandang sejenak sebab ingin mendinginkan kepala sebelum menghadapi kerasnya kehidupan di lokasi kerja, tetapi, ya ... barangkali Tuhan memang merencanakan semuanya.

Tuhan tahu, pekerjaan itu tidak baik untukku. Aku tak akan maju bila terus-terusan menggantungkan harapan kepada bos apatisku hanya agar dapat naik jabatan dan menjadi lebih baik lagi.

Kemudian aku mendapat masalah baru.

Rasa penasaran.

Ah. Penasaran, ya ....

Perasaan penuh kuriositas ini memang sepertinya telah mendarah daging. Aku tak peduli lagi, tetapi karena tak menemukan apa pun dan masih hanya berputar-putar pada pertanyaan yang sama, aku malah menjadi tidak puas. Dan itu adalah sebuah masalah bagiku. Kemudian barangkali akan menjadi masalah juga untuk orang lain.

Pintu terbuka dan aku dapat melihat Kawaki datang dengan senyuman kepadaku. Kubalas dengan raut kusut.

Lihat, dia berpakaian rapi. Tidak, bukan mewah, tetapi rapi. Sangat rapi dan itu adalah kesan yang amat elegan, menenangkan, tampan. Uh, tidak, tidak, aku belum menyukainya. Tapi, ya ... dia memang tampan. Dan cukup berkarisma, hingga pesonanya berhasil menarik sudut bibirku ke atas ketika senyumannya masih terjaga meski aku terus menatapnya dengan ekspresi horor.

"Hai, kupikir ini hari yang buruk bagimu. Aku pesankan kue cokelat, ya?"

Dan dia adalah pria yang peka. Menakjubkan.

Boruto datang saat Kawaki melambaikan satu tangannya. Pria bersurai kuning itu sudah siap dengan catatannya, bersikap ramah seperti kebanyakan seorang pelayan, lalu pergi untuk memenuhi pesanan Kawaki yang sekarang sudah memaku atensi tepat di wajahku.

"Ceritalah,"

"Ha?"

Kawaki masih tersenyum, kali ini tipis. "Ya, ada apa? Kau terlihat tidak baik-baik saja. Kupikir kau butuh seseorang untuk mendengarkanmu."

Itu benar.

"Aa, ya ... kurasa masalahku tidak terlalu penting dan kita tidak harus membicarakannya, itu hanya akan buang waktu dan aku sudah kapok perihal 'buang-buang waktu' dan tak ingin melakukannya lagi." kataku, yang aku sadari bahwa ungkapan itu adalah sesuatu di mana aku baru saja memulai ceritaku.

Kawaki benar-benar peka. Dia langsung bertanya tepat sasaran dan aku mengatakan lagi bahwa kami seharusnya membahas tentang gadis itu, daripada repot-repot mengonversasikan sesuatu yang sudah tak mungkin lagi diperbaiki. Aku sekarang lebih tertarik membahas dia, ya ... Uchiha Sarada namanya. Kemudian hujan, kafe ini, kopi spesial dan ... pelayan bernama Boruto.

COLORS ~Kumpulan Cerpen BoruSara~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang