Salting - Berangkat

459 37 1
                                    

"Aku ... entahlah." Dhita memalingkan wajahnya, sembari menyembunyikan semburat merah yang mulai muncul di pipinya.

Ezian berdiri di belakang kursi yang masi di tempati Dhita, sedikit bergeser dan memposisikan dirinya di samping perempuan tersebut.

Mendekatkan wajahnya ke arah Dhita, mulutnya mulai terarah menuju telinga dan mulai berbisik. "Jangan pernah ragu ketika aku mencintaimu. Kamu akan tau semuanya di hari ulang tahunmu, jaga perasaanmu dan beri aku kesempatan untuk selalu menyayangi dan mencintaimu. I Love You." Dengan suara berat dan lirih.

Deg!

Benar saja, perasaan Dhita semakin tidak karuan bagaikan seribu kupu-kupu terbang di perutnya.

Dhita mulai mengontrol ekspresi wajahnya kembali agar kakak dan orang-orang di sekitarnya tak mengetahui apa yang di ucapkan oleh Ervan.

"Kenapa Dhit? Tegang gitu muka lo, habis di bisikin apa sama Ezian? Hayoloh jangan-jangan ...." terka Revan sambil menunjuk ke arah Dhita dan Ezian.

"Jangan-jangan pala lo! Over Thinking aja kerjaan lo," ketus Ezian duduk di tempatnya kembali.

"Yee ... maaf, gue kan hanya menebak bukan menyatakan suatu hal dengan tempo sesingkat-singkatny.,"

Plak!

"Anjir! Kenapa sih!? Salah gue apa sama lo, hah?" Revan memegang kepalanya yang masih sakit akibat pukulan Saga.

"Ini lo ngomong tentang Ezian bukan nyebutin naskah proklamasi bodo! Segala naskah proklamasi lo bawa-bawa," jawab Saga ke arah Revan.

"Siapa yang bawa anjir! Yang bawa tuh Pak Soekarno, bahkan yang bacain Pak Soekarno gimana sih lo." mulai, mulai sudah pertengkaran antara dua makhluk tengil ini.

"Diem, atau gue potong titid lo!" ancam Ferro ke arah mereka berdua dengan ekspresi datar.

"Udah-udah. Kalian kenapa sih? Kita mau makan bukan bertengkar, kalau udah selesai makan kalian bisa balik ke markas atau mau diem disini juga ga papa. Aku mau kerja, ada pelatihan hari ini." Dhita berdiri dari posisi duduknya lalu membersihkan piring-piring kotor diatas meja.

"Dhita, kamu nanti berangkat sama kakak! Ga ada penolakan," ujar Ezian.

"I-iya kak," jawab Dhita gugup.

"Kalau gitu, gue berangkat ke toko ya? Dek, kamu kalau udah selesai, sebelum kerja kunci pintu rumah dan rapikan barang yang berantakan." Dhita menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

"Iya kak, udah sana pergi, nanti terlambat." Ervin menghampiri Dhita lalu mencium kening adiknya di hadapan Ezian.

Ya ... bisa ditekankan sekali lagi!
DIHADAPAN seorang Ezian yang wajahnya kini semakin masam melihat kelakuan kakak beradik itu.

"Pengen bet kek mereka," gumam Ezian tanda sadar.

"Apa?" tanya Ervin spontan. "Eh, eh, apa? Kenapa? Sorry, gue ga fokus tadi. Kalau gitu gue ke depan dulu sama yang lain," ucap Ezian mengelak dari pertanyaan Ervin.

Dhita tertawa pelan. "Kenapa ketawa? Ada yang lucu?" tanya Ervin.

"E-engga, ga ada! Udah sana ke toko." Dhita mendorong kakaknya keluar menuju pintu keluar.

Love With The Geng Motor | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang