Coretan Dinding

8.2K 567 10
                                    


Setelah berbasa-basi, kami akhirnya izin kepada Bi Asih untuk masuk ke dalam kamar. Sebelum langkah kami mencapai anak tangga, Bi Asih memberitahu kami untuk tidak sesering mungkin keluar malam. Karena, kata dia, di Bandung sedang ramai tindak kejahatan jalanan.

"Iya Bi. Kami juga tidak suka keluar malam kok," kataku. 

Bangunan kos yang kami tempati ini memang sebuah rumah cukup besar. Di rumah ini, terdapat 10 kamar kos. 4 kamar berada di lantai satu dan sisanya berada di lantai dua.

Setiap kamar kos sudah dilengkapi dengan kasur, lemari, dan meja belajar. Istimewanya lagi, kamar mandi juga sudah ada di dalam. Cukup murah dengan kisaran harga Rp500 ribu per bulan.

Kamar aku dan Santi saling berhadap-hadapan. Kami pun langsung membereskan barang-barang kami setelah memasuki kamar. 

 "Bersyukur aku teh bisa dapat kosan seperti ini Ti. Nyaman, murah, lengkap pisan pula."

"Jangan teriak-teriak atuh Mir. Enggak enak sama tetangga kamar sebelah," kata Santi mengingatkan. 

 "Maaf atuh. Kalau aku ngomongnya pelan, mana mungkin kedengeran sama kamu," ucapku sambil menghampiri Santi di kamarnya.

Di dalam kamarnya, Santi ternyata sedang memperhatikan banyak tulisan tangan di dinding kamar menggunakan pulpen. Ia membaca satu per satu tulisan tangan itu.

"Sini deh baca, Mir. Ini tulisannya curhatan semuanya. Kayaknya dulu penghuni kos di sini pernah patah hati," kata Santi sambil tertawa. 

 "Beruntung, yah, kita, tidak pernah jatuh cinta. Jadi enggak tahu deh rasanya patah hati kayak gimana," jawabku ikut tertawa.

"Iya, Mir. Bisa enggak ya minta di cat ulang temboknya. Kesannya, kan, jadi kotor gitu." 

 "Coba nanti bilang ke Bi Asih."

Aku dan Santi pun mempercepat kegiatan beres-beres kamar. Pasalnya, sebentar lagi hari sudah mulai gelap. Ditambah lagi kami juga harus mencari makanan untuk makan malam, karena perut kami sudah keroncongan.

Azan Maghrib berkumandang. Kebetulan aku dan Santi sudah selesai membereskan kamar. Kami pun mandi untuk bisa segera menunaikan salat. Baru saja mau memakai baju, Santi sudah mengetuk pintu kamarku. 

 "Mir... Mir... Udah selesai belum?"

"Udah. Kenapa?" tanyaku sambil membukakan pintu untuk Santi. 

 "Katanya mau ngajak salat bareng. Aku tungguin di kamar ya." 

 "I-i-iya. Sebentar aku ambil mukenaku dulu."

Aku heran dengan ajakan Santi. Padahal aku tidak pernah merasa bilang kalau mengajak Santi untuk salat berjamaah. Apa mungkin aku lupa? Ah, mungkin saja.

Penghuni Kamar Nomor 7 (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang