07 - Setengah Empat Pagi

1.2K 162 11
                                    

.
.
.

Memandang lurus lubang kecil langit-langit kamar, sembari merenung kejadian kemarin malam--itulah yang Arsa lakukan saat ini.

Pukul 03.04. Bukannya Arsa tidak tidur, Arsa tidur kok tapi hanya sebentar. Kegelisahan seakan menghantuinya terus-menerus, tidak membiarkannya tidur nyenyak malam tadi. Anggap saja, Arsa hanya memejamkan matanya namun pikirannya masih berpikir akan banyak hal.

Arsa beranjak dari tempatnya duduk saat ini, kemudian hendak meraih gitarnya, namun tak lama keinginan itu ia urungkan, tepat setelah ia teringat kata-kata Mama tadi malam. "Harus kaya Abang.". Iya, Arsa harus kaya Abang. Untuk membahagiakan Mama, Arsa harus kaya Abang. Harus sepintar Abang, sekuat Abang, setegar Abang. Abang masih muda, tapi Abang sudah bisa membiayai kebutuhan keluarga mereka sehari-hari. Hampir tidak ada celah bagi siapapun untuk menjatuhkan Abang. Sementara Arsa? Bagi Arsa, dirinya hanyalah anak bandel yang taunya hanya menyenangkan diri sendiri bukan Abang maupun Mama.

Remaja berkulit tan itu kemudian beralih menuju meja belajarnya, mengambil sebuah buku latihan, memeriksa nilai-nilai latihannya selama ini. Sungguh, Arsa hampir tidak melihat nilai diatas 80 di buku itu. Dari sini, di hati Arsa, seolah timbul rasa tidak terima. Selama ini, Arsa tidak terlalu menaruh perhatian pada nilai-nilainya. Kalau begini terus, kapan Arsa akan berhasil membahagiakan Mama atas prestasinya di bidang akademik? Seharusnya, ia bisa mendapatkan yang lebih dari ini. Dan ia seharusnya bisa membahagiakan Mama dengan nilai-nilai ujian nya yang bagus.

Arsa menoleh kebelakang, saat ia merasa sesuatu seperti memanggilnya. Bukan, tidak ada orang disana. Hanya ada bola basketnya, yang sudah hampir 3 hari tidak ia sentuh itu. Arsa mendekat. Ntah apa yang dipikiran cowok itu, ia sempat geming, menatap serius bola berwarna cokelat itu lantas mengambilnya.

Tidak hanya bola basket itu, Arsa juga mengambil gitarnya dan buku-bukunya. Ia bentuk segitiga dengan ketiga benda itu, dengan ketiga benda itu sebagai sudut dari segitiga.

"Musik," Arsa menunjuk kearah gitarnya.

"Basket," lalu, Arsa menunjuk kearah bola basketnya.

"Harapan Mama." dan yang terakhir, Arsa menunjuk kearah tumpukan buku-buku itu.

Arsa meraih sebuah botol plastik bekas wadah air mineral yang tergeletak di meja belajarnya, lalu meletakkan botol dengan sedikit air itu tepat di tengah-tengah ketiganya. Setelah sempat hening selama beberapa saat, Arsa menyisihkan buku-buku itu dengan sebuah alasan, "Harapan Mama itu yang utama."

Kini, mungkin opsinya sudah benar. Musik atau basket. Arsa hendak memutar botol itu diantara gitar dan bola basketnya, namun tiba-tiba ia kembali terhenti, sebelum memutar botol itu.

Dilema ini sungguh buat Arsa jadi frustasi. Ini tidak membantu bahkan secuilpun. Arsa menjambak rambutnya kacau--seperti apa yang biasa ia lakukan kala sedang marah--lantas membanting tubuhnya keatas dinginnya sprai yang membalut ranjang di kamarnya, bersamaan dengan sepatah kata yang keluar dari mulutnya atas emosinya yang membludak, "Anjing!"

Arsa geming, namun hatinya beradu bising. Satunya berkata ini, yang lain berkata itu, tidak mau kalah. Selama beberapa saat Arsa sempat berpikir, mungkinkah ini sebuah bentuk pembayaran atas dosa yang pernah ia lakukan sebelumnya? Di kehidupan sebelumnya? Atau yang baru-baru ini?.

Sesaat, Arsa memang sempat berpikir seperti itu. Namun setelahnya, sesuatu seolah mendorongnya untuk berkata,

Mau seperti apa juga,
Asaku tetap sama,
Bawa Mama ke Paris.

Iya, Paris.

Arsa meyakinkan hatinya, karena Arsa menyukai Paris sama seperti Mama. Saat Arsa berumur 5 tahun, Mama dan Arsa pernah duduk berdua di teras rumah mereka, berdiskusi hangat mengenai cita-cita Arsa. Waktu itu Papa dan Abang sedang keluar, jadi hanya ada mereka berdua di rumah.

A(R)SA • Haechan [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang