23 - Meringis di Tengah Gerimis

1.2K 163 5
                                    

(note) aku recomended banget baca bab ini sambil dengerin lagu yang udah aku sarankan di kotak multi media.

Selamat membaca! Semoga kalian suka!

.
.
.


"Woi! Dek! Kalo lagi ngantuk, jangan berkendara, dong!"

Lagi-lagi, Arsa kembali menerima teriakan sejenis seperti yang 10 menit lalu ia terima, saat ia secara tidak sengaja hampir menabrak bapak-bapak yang ada di hadapannya saat lampu merah tadi. Sama seperti yang ia lakukan sebelumnya, Arsa hanya menanggapi teriakan itu dengan tersenyum sambil mengangguk sungkan.

Memang. Saat ini, Arsa memang sedang mengendarai motor. Matanya tampak memandang lurus ke jalanan di hadapannya, tangannya menggerakkan stang dengan mahir. Namun pikirannya ke mana-mana. Banyak hal yang singgah di pikirannya saat ini, membuatnya tidak bisa fokus pada jalanan.

Kalimat menohok yang Astala lontarkan padanya tadi siang masih terus terputar dalam pikirannya, tidak kenal waktu. Pun, ia lupa apa saja syarat proyeksi peta saat ulangan geografi tadi. Padahal, ia sudah berusaha keras agar bisa menjawab dengan lancar pada ulangan mata pelajaran favoritnya itu.

Selain itu, tiga hari lalu, selepas pulang sekolah, pertengkaran kembali terjadi, di antara Arsa dan Mama. Dengan marah-marah, Arsa mempertanyakan pada Mama, kenapa Mama dengan sengaja membuat Arsa keluar dari group chat Band Kita di ponselnya.

"Kamu tidak usah seperti Papamu!"

Begitu, jawaban Mama, membentak balik Arsa. Setelahnya, Arsa tidak mampu melawan dan berkata-kata lagi. Ia memutuskan untuk mengalah, dan tidak memperpanjang masalah ini dengan Mama. Arsa tahu, apapun tentang Papa sangatlah sensitif buat Mama. Jadi, Arsa hanya menganggap, ini adalah langkah awal sebelum ia benar-benar meninggalkan basket juga musik nantinya.

Waktu itu, Arsa tidak tahu Band Kita akan bubar karena masalah ini, karenanya.

Arsa, tidak tahu akan seperti ini jadinya.

Gerimis mulai merintik, membentur aspal hitam dan aroma pretichor mulai menyeruak. Arsa suka bau itu, tapi kali ini... ah sudahlah, ia bahkan tidak sadar kalau saat ini sedang gerimis.

Seharusnya Arsa tidak berkendara dalam kondisi yang seperti ini. Selain bisa merugikan dirinya sendiri, Arsa juga bisa membawa dampak buruk bagi pengendara lainnya, bila berkendara dalam kondisi seperti ini. Jadi, wajar kalau sedari tadi orang-orang itu berseru dengan penuh amarah pada Arsa.

Di pertengahan perjalanannya, tangisan seorang bocah berhasil membuyarkan lamunannya. Tangisan itu bersumber dari sana, beberapa meter dari tempat Arsa saat ini. Anak perempuan itu nampak menangis karena terjatuh di aspal, dan dari sini, kelihatan jelas cairan kental berwarna merah bercucuran dari lututnya. Arsa panik, mengempaskan motornya begitu saja, tergopoh-gopoh ia berlari menuju anak itu.

"Aduh, dek! Kok bisa jatuh begini, sih!?"

Bocah itu berumur sekitar 7 sampai 8 tahun. Ia tidak menyahut sama sekali, ia sibuk menangis, mengeluh kesakitan, sembari memandangi luka di lututnya. Meski bukan Arsa pemilik luka itu, tapi rasanya Arsa juga merasakan sakitnya. Ia ikut mendesis ngilu.

"Kak Asa... sakit... kaki Ara sakit...."

Arsa mendongak ke arah bocah itu, begitu mendengar ia memanggil namanya. Setelah melihat wajahnya, Arsa baru sadar siapa anak perempuan itu.

"Rara!? Kok kamu di sini!? Mama di mana!?" tanya Arsa bertubi-tubi.

"Ndak tau, Kak... Ara kesasar," sahutnya dengan begitu sedih.

A(R)SA • Haechan [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang